Kamis, 01 November 2012

Surat untuk Seorang Perempuan yang Tak Terduga (Part II)

Kepada seseorang yang selalu menyimpan rahasia.

Ini surat keduaku. Entah akan kutulis berapa banyak lagi surat untukmu. Meskipun kita belum begitu lama berada di dunia ini, aku merasa, terlalu banyak pengalaman sekaligus pelajaran berharga yang telah kuhafal, yang terlalu sayang untuk tidak kupetakan pada keabadian. Bagiku, menulis adalah cara mengabadikan pengalaman, mengabadikan perasaan. Aku harap kau tak akan pernah memintaku untuk berhenti menulis tentangmu.

Kekasih, tidakkah kau ingat saat-saat kita berdebat panjang, tentang sesuatu yang mungkin akan dianggap sepele oleh oranglain? Perdebatan tak wajar tentang sesuatu yang dianggap wajar oleh oranglain, tidakkah kau ingat? Kita bicara tentang cinta, tetang pernikahan, tentang anak, tentang hal-hal yang kau bilang seharusnya tak kupertanyakan. Saat itu, kita keras kepala. Sama-sama batu. Aku kadang melihatnya seperti bicara dengan diri sendiri, diri yang batu. Tapi bukankah itu lucu, sekaligus indah? Keindahan yang menyembul bukan dari kesetujuan atau kesamaan, tapi ia justru hadir dari ketidaksetujuan atau perbedaan. Begitu indah.

Itu hanya satu dari banyak keindahan yang kau tunjukkan padaku.

Sebenarnya ada yang jauh lebih indah daripada itu. Kau ingat, saat kau merasa begitu takjub pada sesuatu, pada apa yang membuatmu merasakan euforia? Aku hafal betul wajahmu saat itu. Wajah yang nampak begitu bahagia, ditambah dengan kata-katamu yang coba menjelaskan tentang hal yang membuatmu takjub itu. Aku hafal betul. Dalam takjub dan bahagiamu, kau berusaha keras untuk menjelaskan sesuatu itu. Namun kau tak bisa menuntaskannya. Kata-kata menghambatnya, tapi aku begitu menikmatinya. Keindahan yang begitu luar biasa, yang juga tak terjelaskan dengan kata-kata.

Kekasih, mungkin keindahan itu memiliki takdir seperti hidup, pada waktunya akan mati. Mungkin keindahan itu terjebak dalam kesementaraan. Tapi hidup bukan hanya tubuh fisik. Seorang yang mati tidaklah benar-benar mati. Dirinya tetap hidup dalam kenangan orang-orang. Apa yang telah ia lakukan, akan terhimpun dalam kenangan. Dan kenangan, tak benar-benar mati.

Maksudku begini, apakah jika suatu saat penulis yang sama-sama kita baca itu meninggal dunia, ia akan mati dan hilang begitu saja? Bukankah ia masih ada, dalam karya-karyanya? Karya-karya yang barangkali akan terus kita bicarakan. Karya-karya yang akan tetap ada, dan membuatnya tidak benar-benar mati.

Maka keindahan juga tak hanya berbentuk fisik. Aku hanya hendak mengabadikan ingatanku tentang keindahan. Meskipun barangkali pada waktunya kekacauan akan menggelapkan. Aku tahu betul, aku tahu betul itu akan terjadi. Tapi aku akan terus mengupayakan itu sebagai bagian dari mencintaimu. Namun jika suatu saat nanti perasaan ini memudar, setidaknya aku sudah punya cara untuk merawatnya agar tetap hidup: ingatan-ingatan tentang keindahan.

Kekasih, engkau yang tak percaya pada keabadian, terimakasih... Kau telah membuatku mencintaimu, sekaligus mengajariku bagaimana cara mengabadikan perasaanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar