Kamis, 17 Juli 2014

Laksmi Tak Pernah Pulang


Ilustrasi: lentera-pembebasan
Ramai-ramai warga desa mendatangi rumah di dekat portal masuk gang Kenari. Mereka membawa segala barang yang bisa digunakan untuk menghancurkan. Cangkul, pedang, parang, balok kayu, dan segala macam kerabatnya ada di tangan mereka. Amarah sudah mencapai puncaknya. Tak tertahan.
***
Laksmi adalah bunga desa yang menjadi idaman setiap perjaka di gang Kenari. Matanya kecil seperti dua garis yang terpisah. Kulitnya tidak putih, namun cerah. Lesung pipinya selalu membuat siapa saja yang ada di hadapannya tersenyum, mesem. Dan yang terpenting, seperti juga ibunya, Laksmi pandai berdagang.

Laksmi selalu membantu ibunya berdagang di warung. Kehidupannya hanya terdiri dari segitiga pasar-rumah-sekolah. Laksmi tak suka bergaya macam-macam, seperti teman-temannya di SMA. Ia juga tak suka membaca berita.

Sepulang sekolah, Laksmi pergi ke pasar, yang searah dengan rumahnya, untuk belanja keperluan warung ibunya. Warung ibu Laksmi adalah warung yang paling besar di gang Kenari. Segala macam keperluan rumah tangga ada di dalamnya. Warung ibu Laksmi juga selalu ramai. Berdagang memang keahlian keluarganya turun-temurun.

Di pasar, Laksmi selalu merasa kagum. Ia sudah hapal benar dengan kehidupan pasar. Namun rasa kagumnya tak pernah hilang.

Ia melihat bagaimana seorang ibu menetekkan anaknya yang masih setengah tidur dalam gendongan kain. Ia merekam bagaimana mata-mata sayup itu berusaha tergaja agar anak-anak di rumah bisa sarapan sebelum berangkat sekolah. Ia juga mengingat bagaimana tatapan mata lelaki itu, preman bertato macan yang selalu mengenakan kaos lengan buntung, kepada dirinya. Semua itu membuatnya kagum.

Menurutnya, pasar adalah miniatur kehidupan. Tempat di mana orang-orang berinteraksi mengenai untung dan rugi. Tak peduli pembeli, mau nenek tua bungkuk atau kembang desa macam dirinya, harga akan tetap sama. Tak ada tempat untuk perasaan. Semua didasarkan oleh hukum ekonomi, untung dan rugi. Begitu pula ingatannya tentang pandangan lelaki bertato macan itu. Pandangan yang selalu penuh dengan untung-rugi. Laksmi merasa mata itu selalu mengawasinya.

Seperti biasa, ia selalu berjalan menenteng barang belanjaan dengan ceria. Sapaan-sapaan tetangga dibalasnya dengan senyum yang menghasilkan lesung.

“Eh, nduk Laksmi baru pulang?”

“Iya, bu.” Laksmi selalu singkat menjawab pertanyaan-pertanyaan basa-basi tetangganya. Namun lesung pipi dan senyuman itu selalu menyelamatkannya dari kejamnya bisikan tetangga.
***
Hari itu ibu Laksmi tidak membuka warungnya. Biar warung kita tutup dulu, gak usah dagang dulu, ucap ibunya ketika itu sambil memberikan sarapan kepada Laksmi yang hendak berangkat ke sekolah. Laksmi hanya diam sambil menyantap telur dadar buatan ibunya.

“Nanti pulang sekolah, langsung pulang, ya,” ucap ibunya.

“Iya, Ma. Biasanya juga aku langsung ke pasar terus pulang.”

“Hari ini kamu gak usah belanja. Langsung pulang saja. Warung kita tutup dulu.”

“Iya, Ma..”

Baru kali itu ibu Laksmi melarang Laksmi untuk belanja di pasar sepulang sekolah. Laksmi hanya bisa menurut perintah ibunya. Yang Laksmi tahu, hari itu adalah tanggal 13, angka yang dipercaya membawa sial baginya. Nanti siang setelah sekolah, ia akan langsung pulang.

Sepulang sekolah, Laksmi langsung ke depan untuk menunggu mikrolet. Dengan riang, bersama teman-temannya, ia naik mikrolet yang terkenal suka ngetem itu. Jalanan hari itu cukup lengang. Tak banyak kendaraan yang melintas.

Sampai di perempatan pasar jalanan menjadi ricuh. Orang-orang ramai berkerumun membawa segala macam barang. Dalam pelan, Laksmi melihat mata itu, mata tajam yang sering menatapnya ketika belanja, mata seorang preman bertato macan di antara kerumunan. Tangan Laksmi bergetar.

“Turun semuanya.. Turun,” teriak preman itu.

Orang-orang di dalam mikrolet turun semua. Kaca-kaca mikrolet satu per satu dipecahkan. Laksmi semakin ketakutan.

“Ayo, ibu-ibu ke sini semua,” ucap preman bertato macan.

“Ada yang cina gak?” teriak yang lain.

Tangan Laksmi ditarik olehnya. Tubuhnya disergap, lekukannya digerayangi. Semua mata hanya bisa melihat iba. Tak ada yang berani menolong. Laksmi berteriak, namun gerayangan itu semakin memuncak.

Tangan preman itu mulai mendekati kemaluannya, sebelum seorang temannya mengingatkan, “Hei, itu punya Cina. Haram!”

Laksmi masih saja terisak. Preman itu mengambil sebatang kayu. Orang-orang di sekitarnya membuka rok biru muda seragamnya, sebelum preman bertato macan itu menancapkan kayu di kemaluan Laksmi. Berulang-ulang.

Laksmi tak bisa lagi berteriak. Ia pingsan lalu ditinggalkan.

Seorang bapak mencoba menolong Laksmi yang masih pingsan. Darah masih keluar dari pangkal kedua kakinya. Beberapa taksi menolak dihinggapi, hingga akhirnya ada mobil yang berhenti. Laksmi langsung dibawa ke rumah sakit. Pendarahannya hebat.
***
Ramai-ramai warga desa mendatangi rumah di dekat portal masuk gang Kenari. Mereka membawa segala barang yang bisa digunakan untuk menghancurkan. Cangkul, pedang, parang, balok kayu, dan segala macam kerabatnya ada di tangan mereka. Amarah sudah mencapai puncaknya. Tak tertahan.

Warung ibu Laksmi, yang juga tempat tinggalnya, langsung dibakar. Iabu Laksmi tak sempat keluar. Warga kampung panik sekaligus bingung melampiaskan kemarahannya kepada siapa lagi kecuali kepada mereka yang berbeda.

Laksmi masih terbujur kaku di rumah sakit. Yang pasti, ia tak akan pernah bisa pulang. Rumah dan warungnya sudah menjadi abu. Seperti ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar