Vox populi vox dei. Suara mayoritas adalah suara yang paling benar.
Kalau begitu, bunuh saja minoritas, biar perkara selesai. Semakin banyak rakyat
yang merasa sebagai mayoritas, yang menyebut kebenarannya adalah kebenaran
mutlak.
Rakyat yang
(merasa) mayoritas
semakin sulit untuk dikritik, semakin sensitif akan pandangan negatif. Semua pandangan mayoritas adalah benar
(titik). Tak ada yang bisa mengganggu gugat. Suara kami (mayoritas) adalah
suara tuhan. Lalu apa urusanmu? Pergi sana jauh-jauh. Nanti kalau lama-lama di
sini kau bisa mati. Kau hanyalah minoritas, makhluk hidup yang tak pantas
memperjuangkan kebenarannya. Makhluk yang harusnya mengikuti kami, mayoritas.
Egoiskah kami? Apakah
boleh kami membunuh minoritas untuk kebenaran kami? Salahkah kami
memperjuangkan kebenaran bagi orang yang lebih banyak? Hah? Anda jangan diam
saja. Bicara! Bertindak! Jangan menjadi pengecut, yang mondar-mandir lalu
menganggukkan kepala, tanda sepakat. Apa Anda tak ingin memberontak? Tak ingin
memperjuangkan kebenaran yang anda percayai?
Ambilah senjata. Isi
otak kalian dengan pemahaman. Cari tahu dulu apa arti kebenaran. Sudah ketemu? Mari
kita serang orang-orang yang memaksakan ketuhanannya!
Tusuk matanya. Robek
kulitnya. Jangan lupa, karatkan terlebih dahulu tongkat besimu sebelum kau
tancapkan ke jantungnya. Jangan beri mereka kesempatan. Hancurkan, sampai
mereka kesakitan dan menemukan kebenaran, kematian.
Sampai jumpa
kawan-kawan. Dahulu kita bermain bersama, melewati lembah, menghirup ganja sampai berkhayal tentang surga. Namun
kita saling berlawanan, saling menghancurkan. Aku adalah tuhanku dan kau adalah
tuhanmu, kebenaranmu. Sampai jumpa. Sampai jumpa di kematian, kebenaran.
Jakarta, November
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar