Terima kasih untuk Tuhan
yang mengadirkanmu kemarin malam di acara Ulang Tahun mantan kekasihmu.
Walaupun tujuanmu datang bukanlah untukku, setidaknya aku bisa kembali
memandang wajahmu setelah sekian lama. Hal ini mungkin tak penting untukmu.
Aku sadar selama ini
kau tak menganggap kehadiranku, tak masalah buatku. Akupun sadar akan hubungan
kita yang Utopis, layaknya Istrael dan Palestina. Masalah kau menyadarinya atau
tidak, tentu aku tak tahu.
Di matamu aku adalah
seorang kakak, seorang yang kau tuakan. Aku tak meminta kau untuk menganggapku
demikian. Namun aku tahu mengapa kau menganggapku sebagai seorang kakak. Percayalah, aku bukanlah seorang yang pantas disebut kakak. Aku tak bisa
menjadi seorang kakak yang baik. Jika kau tak percaya, tanyakan kepada
adik-adik kandungku.
Tak pernah
sekalipun aku menganggapmu sebagai adik, aku menganggapmu selayaknya teman.
Teman yang bisa diandalkan disaat apapun, kapanpun, dimanapun. Sama seperti
teman pada umumnya.
Beberapa bulan
terakhir sepertinya ada perasaan yang berbeda dari diriku untukmu. Aku
merasakan kehangatan dan keintiman saat kita berbicara berdua. Aku merasa kita
telah tenggelam dalam bermacam wacana,
terlepas dari penting atau tidaknya yang hal kita bicarakan. Namun aku senang
saat berbicara denganmu, sungguh.
Akupun selalu menanti
waktu untuk kembali berbicara denganmu. Setelah pertemuan itu, aku merasa kita
menjauh. Akupun tak tahu mengapa demikian. Tentunya aku sadar, aku juga
berperan dalam menjauhnya dirimu kepadaku.
Rasa cemas selalu
hadir ketika kau tak membalas pesan singkat dariku. Apakah kau baik-baik saja,
ataukah sesuatu terjadi terhadapmu? Sekali lagi, aku tak tahu. Dan aku mulai
berfikir kau mulai menjaga jarak terhadapku, semoga saja itu hanya pemikiranku
yang tak menjadi kenyataan.
Selang waktu kembali
berputar, dan aku mulai sadar aku mulai menyayangimu sedikit demi sedikit. Aku
mencoba untuk mengungkapkan perasaanku secepatnya. Keadaan sepertinya tidak
berpihak kepadaku untuk mengutarakan hal itu.
Sejujurnya aku
menyayangimu bukan karena tanpa sebab. Aku merasa nyaman jika bisa berbicara
apa saja denganmu setiap waktu. Sepertinya berbicara denganmu akan memberikan
efek ketenangan dan rasa lega serta kepuasan tersendiri untukku.
Suatu waktu aku
benar-benar kikuk dan tak tahu harus berbuat apa, aku tak tahu dengan cara apalagi
harus bisa bertemu denganmu. Aku memang seorang pengecut yang selalu
bersembunyi dibalik apapun yang bisa menutupi kebodohanku.
Aku bukanlah
Jim Morisson ataupun Nazril Ilham yang pandai menyanyi dan memiliki daya pikat
terhadap wanita. Aku juga bukan Kahlil Gibran yang pandai merangkai kata-kata
mutiara. Aku bukan sosok kharismatik seperti Soekarno. Aku tetaplah seorang
pecundang yang tak memiliki kelebihan apapun.
Maaf jika surat ini
mengganggumu waktumu dan membuatmu jenuh dengan berbagai kata-kata di dalamnya
yang mampu membuatmu bosan dan muak. Sejujurnya aku hanya ingin mengutarakan
apa yang kurasakan. Maaf jika aku hanya mampu menuliskan perasaanku dan tak
mampu berbicara langsung kepadamu. Aku memang seorang pecundang yang akut,
untuk bicara denganmu saja aku tak mampu.
Aku harap kau
membalas surat ini dengan cara apapun, entah dengan berbicara langung maupun
membalas surat lagi kepadaku. Jika kau tak membalas surat inipun tak mengapa
buatku. Kau membacanya saja aku merasa sangat puas.
Sekian.
Aku tau kok perasaanmu kepadaku, tapi aku tidak mau dekat-dekat dengan kamu, hanya itu.
BalasHapusaku ga peduli kok. tenang aja
BalasHapus