Sabtu, 05 Juli 2014

Ramadhan, Kereta dan Petasan

“Sudah terlalu jauh! Sudah terlalu jauh!” 

Sumber: Google

***
Sore itu, dulu sekitar dua belas tahun yang lalu, saya dan Jamal, teman saya yang akhirnya dimasukkan ke pesantren, mencari petasan berharga murah. Kami pergi berdua, berjalan dari Setu Babakan, kawasan yang belum tersentuh kapital asing, hingga Universitas Pancasila. Niatnya satu: ke Tebet, yang saat itu menjadi pusat petasan yang saya ketahui.

Stasiun kereta api belum seketat sekarang yang harus memberi jaminan 5000 rupiah di muka agar kartu kereta tidak dibawa pulang. Penagih tiket hanya bermodalkan pen-jekrek kertas, memeriksa penumpang. Kadang, bayar di tempat justru akan lebih menguntungkan bagi penagih tiket.

Khusus untuk anak sekolah, yang menggunakan seragam, saya hanya memasang muka melas ketika penagih itu datang. Atau duduk di pintu kereta yang terbuka, pura-pura tak melihat. Niscaya, penagih itu tak akan menagih. Ah, dasar.

Namun, cobaan yang paling berat ketika menggunakan moda transportasi termurah dan tercepat kala itu, bagi saya, adalah anak-anak dari sekolah lain. Ya, kereta saat itu memang dikuasai anak sekolah.

Syahdan, saya pergi ke Tebet bersama Jamal naik kereta tanpa membeli karcis. Saya masih takut untuk naik di atas, karena masih belum punya pengalaman. Jamal di atas, saya di bawah. Saya membawa tas kosong, yang atasnya robek, untuk nanti petasan disimpan.

Sampai di Tebet, polisi ada di mana-mana. Dengan cepat, Jamal mengajak saya keluar stasiun melalui peron. Langsung menyusup ke perumahan, gang sempit yang aroma merconnya sangat terasa.

Ibu-ibu menjajakan barangnya. Mereka tidak membuka lapak, namun mengajak saya dan Jamal masuk ke dalam. Rumahnya. Gorden jendela telah rapat semenjak kami belum datang. Kami masuk, pintu ditutup. Transaksi dimulai.

Saya mengeluarkan dompet, mengambil uang lima ribuan. Jamal merogoh kantung celana, menghasilkan 10 ribu. Uang kami satukan. Petasan didapatkan. Saya langsung memasukkan semua petasan itu ke dalam tas, yang memang bolong di baian atas.

Saat kami ingn berangjak, sang ibu pemilik rumah menghentikan. “Nanti dulu, di luar masih banyak polisi razia. Nanti kalau sudah aman, saya baru kasih keluar,” ucapnya dengan nada datar. Jantung saya ketika itu memang mengompa darah lebih cepat, lebih kencang. Suara-sara sepatu lasar dari tadi mondar-mandir seperti mencari korban.

Akhirnya kami diperbolehkan keluar. Saya dan Jamal langsung menuju stasiun untuk pulang. Tas yang bolong itu saya pegang erat dan tutupi. Memang benar, polisi ada di mana-mana.

Dalam tas saya ada petasan senilai 15 ribu mungkin bisa menjadi barang bukti di persidangan, kalau-kalau kami tertangkan di sini. Namun kami selamat. Saya dan Jamal menjadi bandar petasan untuk seminggu di Setu Babakan bagian selatan.
***

Bunyi ledakan mercon itu terdengar dari kejauhan. Pagi ini banyak nyamuk. Saya setengah terjaga menonton pertandingan Jerman vs Prancis, yang golnya pun tidak saya sadari. Lapar menyeruak. Saya kembali ke kamar, menuliskan tentang Ramadhan. Pikiran saya melayang.

“Sudah terlalu jauh! Sudah terlalu jauh!” gigitan nyamuk menuntaskan pikiran saya yang menerawang kejadian dua belas tahun silam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar