Tadinya saya ingin mengawali tulisan ini dengan kalimat;
“Yang paling nikmat di bulan puasa adalah ketika hujan di
kala senja, dan adzan tak kunjung tiba. Di sebuah halte muram, saya menunggu
langit berhenti sejenak untuk memberi peluang. Namun, kehidupan memang tak
selalu berjalan sesuai pikiran. Hujan tak mau pulang, terpaksa saya buka di
jalan.”
Namun kaitan antara kalimat pertama dan setelahnya terasa
kurang cocok. Saya yakin pembaca tak menemukan sesuatu yang menarik dari menunggu
hujan di bulan Ramadhan. Tidak menarik perhatian pembaca untuk melanjutkan
membaca.
Saya bingung untuk membuat awal paragraf yang menarik. Adzan
magrib sudah mulai berkumandang. Ide tak kunjung datang. Dan sialnya, saya
terjebak hujan.
Saya menyalakan rokok sisa semalam yang tak sempat dibakar
oleh karena lantunan suara pemanggil solat keburu datang subuh tadi. Di halte
ada seorang ibu penjual gorengan. Saya membelinya, lima, dan segelas teh hangat
untuk menambal perut yang kedinginan.
Jam menunjukkan pukul 18.30 saat sinar lampu mulai
dinyalakan. Gemerlap derung mesin kendaraan menyapu genangan air di sisi jalan.
Hujan sudah reda, namun rintik belum usai.
Pukul 19.08, yang lainnya datang. Kami berbicara tentang
sesuatu yang sangat rahasia. Namun, ada yang harus disebarluaskan dari
perbincangan rahasia tersebut. Teman-teman saya mulai merasa ketakutan oleh
tindakan subversif yang dilakukan tim pemenangan Prabowo-Hatta di daerah-daerah.
Yang satu bilang, bahwa keadaan seperti ini laiknya massa
Orde Baru yang perlahan muncul kembali. Kami, saya dan teman-teman saya, tak
bisa membayangkan apabila Prabowo-Hatta nanti terpilih menduduki kursi
tertinggi di negeri ini.
Namun ada perspektif lain. Seorang teman berasumsi bahwa
tindakan-tindakan subversif bisa saja dilakukan oleh kubu Jokowi-JK. Alasannya,
mereka tahu bahwa ketakutan kelas menengah ketika terhadap kubu Prahara melulu
soal HAM. Dan dengan bertindak subversif kepada pendukung Jokowo-JK, kubunya
sendiri, semakin memanaskan bola panas yang terlanjur terbakar. Hanya asumsi
memang, namun logikanya bisa diterima. Semacam propaganda.
Tapi, saya tetap tak bisa membayangkan jika seorang jenderal yang
kasusnya tak kunjung selesai, memimpin negeri ini. Sudah pasti, siapapun yang
mencoba menyentuh kulitnya, disingkirkan dengan mudah.
Ketakutan-ketakutan itu datang lagi.
Ya, sangat rahasia memang informasi itu, sehinga tak patut
untuk diungkap di blog yang penuh ke-soktahu-an seperti ini. Namun, apa boleh
buat. Tulisan sudah dibuat. Sayang kalau tak disebarluaskan. Ketakutan hanya tinggal ketakutan.
Karena dari awal menulis di blog ini, saya dan mereka –teman-teman
saya yang sering terlambat posting naskah- ingin menafsirkan kebenaran dengan
cara yang semena-mena.
Kalimat pembuka untuk tulisan ini tak juga saya temukan. Biaralah
seperti itu. Tanpa makna, tanpa tujuan. Biarlah cerita ini memiliki kehendaknya
sendiri. Tanpa harus saya kehendaki.
Sumber: Google |
Ah, di seberang ada penjual kacang rebus. Jam tangan telah
menunjukkan pukul sebelas lebih sedikit. Saya putuskan membeli sebungkus kacang
rebus hangat itu, untuk bekal pulang di dalam kereta yang hampir habis.
Kereta malam itu membawa saya pulang –entah konsep pulang yang
seperti apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar