Kamis, 03 Juli 2014

Menikmati Sebungkus Kacang Rebus di Kereta Pulang

Tadinya saya ingin mengawali tulisan ini dengan kalimat;

“Yang paling nikmat di bulan puasa adalah ketika hujan di kala senja, dan adzan tak kunjung tiba. Di sebuah halte muram, saya menunggu langit berhenti sejenak untuk memberi peluang. Namun, kehidupan memang tak selalu berjalan sesuai pikiran. Hujan tak mau pulang, terpaksa saya buka di jalan.”

Namun kaitan antara kalimat pertama dan setelahnya terasa kurang cocok. Saya yakin pembaca tak menemukan sesuatu yang menarik dari menunggu hujan di bulan Ramadhan. Tidak menarik perhatian pembaca untuk melanjutkan membaca.

Saya bingung untuk membuat awal paragraf yang menarik. Adzan magrib sudah mulai berkumandang. Ide tak kunjung datang. Dan sialnya, saya terjebak hujan.

Saya menyalakan rokok sisa semalam yang tak sempat dibakar oleh karena lantunan suara pemanggil solat keburu datang subuh tadi. Di halte ada seorang ibu penjual gorengan. Saya membelinya, lima, dan segelas teh hangat untuk menambal perut yang kedinginan.

Jam menunjukkan pukul 18.30 saat sinar lampu mulai dinyalakan. Gemerlap derung mesin kendaraan menyapu genangan air di sisi jalan. Hujan sudah reda, namun rintik belum usai.

Pukul 19.08, yang lainnya datang. Kami berbicara tentang sesuatu yang sangat rahasia. Namun, ada yang harus disebarluaskan dari perbincangan rahasia tersebut. Teman-teman saya mulai merasa ketakutan oleh tindakan subversif yang dilakukan tim pemenangan Prabowo-Hatta di daerah-daerah.

Yang satu bilang, bahwa keadaan seperti ini laiknya massa Orde Baru yang perlahan muncul kembali. Kami, saya dan teman-teman saya, tak bisa membayangkan apabila Prabowo-Hatta nanti terpilih menduduki kursi tertinggi di negeri ini.

Namun ada perspektif lain. Seorang teman berasumsi bahwa tindakan-tindakan subversif bisa saja dilakukan oleh kubu Jokowi-JK. Alasannya, mereka tahu bahwa ketakutan kelas menengah ketika terhadap kubu Prahara melulu soal HAM. Dan dengan bertindak subversif kepada pendukung Jokowo-JK, kubunya sendiri, semakin memanaskan bola panas yang terlanjur terbakar. Hanya asumsi memang, namun logikanya bisa diterima. Semacam propaganda.

Tapi, saya tetap tak bisa membayangkan jika seorang jenderal yang kasusnya tak kunjung selesai, memimpin negeri ini. Sudah pasti, siapapun yang mencoba menyentuh kulitnya, disingkirkan dengan mudah.

Ketakutan-ketakutan itu datang lagi.

Ya, sangat rahasia memang informasi itu, sehinga tak patut untuk diungkap di blog yang penuh ke-soktahu-an seperti ini. Namun, apa boleh buat. Tulisan sudah dibuat. Sayang kalau tak disebarluaskan. Ketakutan hanya tinggal ketakutan.

Karena dari awal menulis di blog ini, saya dan mereka –teman-teman saya yang sering terlambat posting naskah- ingin menafsirkan kebenaran dengan cara yang semena-mena.

Kalimat pembuka untuk tulisan ini tak juga saya temukan. Biaralah seperti itu. Tanpa makna, tanpa tujuan. Biarlah cerita ini memiliki kehendaknya sendiri. Tanpa harus saya kehendaki.

Sumber: Google

Ah, di seberang ada penjual kacang rebus. Jam tangan telah menunjukkan pukul sebelas lebih sedikit. Saya putuskan membeli sebungkus kacang rebus hangat itu, untuk bekal pulang di dalam kereta yang hampir habis.

Kereta malam itu membawa saya pulang –entah konsep pulang yang seperti apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar