Saya
punya pengalaman menarik terkait efek televisi. Beberapa tahun lalu, saya membeli
rokok di warung. Di sana, saya mendapati perempuan penjaga warung sedang membelakangi
saya karena tengah menonton sinetron di tv. Saya memanggilnya untuk memesan
rokok. Lalu rasa canggung tiba-tiba hadir tatkala perempuan itu menoleh ke arah
saya dalam keadaan menangis terisak. Rupanya ia menangis lantaran menonton
sinetron yang waktu itu memang sedang mendapat rating yang tinggi.
Begitu
gaibnya sebuah kotak bercahaya di hadapan manusia. Kotak itu bisa membuat orang
menangis, tertawa, dan bahkan horny. Segala yang ada dalam kotak tersebut,
seolah-olah adalah kenyataan yang utuh, penuh, dan apa adanya. Sialnya, banyak orang percaya saja.
Acara-acara
tv barangkali memang berfungsi untuk memberi pengalaman atau pengetahuan yang tak bisa
kita alami atau ketahui di kenyataan. Bila ingin melihat macan, kita tak perlu
membuang uang untuk pergi ke Ragunan, sebab macan ada di tv. Bila ingin
mengetahui kondisi luar angkasa, kita tak perlu membuang-buang tenaga naik jet,
karena bisa kita lihat dengan memutar film Gravity.
Itu
kenapa tv menjadi menarik, apa lagi bagi penjaga warung berusia tua yang
kerjanya hanya menunggu pembeli datang. Tv menjadi menarik sejauh ia tak sama
dengan kenyataan yang penonton dapat alami atau ketahui. Agar tetap menjadi
menarik, tv bahkan kerap memproduksi sesuatu yang bahkan tak mungkin terjadi di
kenyataan.
Namun
begitulah tv. Ia memproduksi mimpi. Mimpi tentang anak remaja yang memiliki
pacar seorang monyet atau seorang serigala. Mimpi tentang tukang becak berlarian di pinggir pantai sambil menggenggam tangan pacarnya yang super
cantik. Mimpi, mimpi, dan mimpi.
Sampai
di sini, batas antara realitas dan imajinasi pun melebur. Kita sulit membedakan
mana yang fakta mana yang fiksi. Segalanya ada di tv, bahkan sesuatu yang tak ada
pun, bisa ada di tv. Seluruh imaji sudah habis dilumat televisi.
Maka, seperti kata Melancholic Bitch di lagu Mars
Penyembah Berhala:
Siapa yang membutuhkan imajinasi jika kita sudah punya televisi?
Karena itu, tv seperti dipuja, seperti disembah. Ia seperti berhala. Melbi pun berkhotbah di lagu itu:
Sodara… Sodara-sodara...
Sodara-sodara dalam iman
Letakkan kedua tangan
sodara di layar kaca
Pejamkanlah kedua mata
sodara
Dan dalam gelap itu,
sodara, lihatlah satu titik cahaya di kejauhan
Biarkan cahaya itu
mendekati sodara
Lalu capailah cahaya itu,
sodara, dengan kedua tangan sodara
Genggamlah ia... genggamlah
ia sodara
Sebab semesta ada di tangan
sodara
Sebab semesta ada di tangan
sodara
Sebab semesta, sodara...
telah pepat... telah pepat dalam 14 inchi
Day 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar