Senin, 07 Juli 2014

Akankah pertanian Indonesia mati?



Pertanian di Indonesia sempat menjadi bahan pembicaraan masyarakat dunia, khususnya Eropa. Hasil tani Indonesia sempat menjadi salah satu komoditas paling dicari oleh bangsa Eropa. Invasi Portugal ke bumi pertiwi pada tahun 1500an menjadi indikasi betapa berartinya hasil tani kita untuk mereka. Karena pada saat itu, harga hasil tani di pasar Eropa dan Afrika sangatlah mahal. Sehingga bangsa Eropa mencoba mencari alternatif lain untuk menekan pengeluaran dalam sektor pangan, yaitu dengan cara mencarinya ke belahan Asia dan Amerika Selatan. 

Awalnya bangsa Eropa hanya ingin membeli berbagai prodak pertanian dengan harga murah dan membawanya kembali ke negaranya. Lambat laun, mereka berfikir untuk menguasai segala aspek yang ada di Indonesia, tak terkecuali pertanian. Portugal, Inggris, Belanda hingga Jepang silih berganti mengoyak segala kekayaan alam bangsa tercinta ini. bahkan Belanda telah mengusai Negara ini selama 3,5 abad demi mencapai kemakmuran pribadi dan bertindak semena-mena kepada rakyat.

Kesewenang-wenangan inilah yang kemudian mengakibatkan timbulnya pemberontakan rakyat.  Revolusi dimulai dari sistem sewa pajak tanah yang diprakarsai oleh Rafless. Sang penemu Raflessia Arnoldi. Singkatnya, Rafless ingin segala bentuk hasil yang ditanam di tanah Jawa harus dikenakan biaya ekstra. Sistem ini jelas memberatkan dan membuat para petani geram. Siapa yang mau membayar pajak jika kita harus membayar hasil tani di tanah sendiri? Kebijakan Rafless ini mengakibatkan pemberontakan Jawa, atau biasa disebut perang Diponegoro.

Selain itu, ada juga sistem tanam paksa yang digagaskan gubernur Hindia Belanda saat itu, Johannes Van Den Bosch  yang mewajibkan setiap desa menyisihkan 20 % tanahnya untuk ditanami komoditi yang laku keras dipasar Eropa seperti kopi, nila dan tebu. Hasil dari tanaman komoditi ini harus dijual kepada colonial belanda dan siapapun yang tak memiliki tanah harus bekerja selama 75 hari untuk memenuhi tuntuan 20 % tersebut. Kenyataannya, warga desa harus menanam semua komoditi tersebut di lahan mereka dan warga dilarang menanam tanaman lain. Sehingga warga yang berprofesi sebagai petani tak bisa mendapatkan keuntungan dari hasil panen. Karena pemerintah Belanda menetapkan harga panen tersebut. Siapa petani yang tahan akan kebijakan tersebut. Mereka harus melawan kesewenang wenangan penjajah dengan beragam kekuatan. Mungkin inilah yang mendasari band Hardcore asal Jakarta, Srtaight Answer menciptakan athem fenomelan bagi kaum marjinal, “Bangkit melawan atau tunduk ditindas.”

Setelah era kemerdekaan. Sektor pertanian Indonesia bisa dikatakan telah mencapai puncaknya. Hal ini dikarenakan kebijakan mantan presiden Soeharto yang menerapkan sistem swasembada pangan dalam program Repelita IV. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil menciptakan swasembada beras karena bersahil memproduksi 25,8 ton beras. Hal ini kemudian berujung pada ganjaran penghargaan dari FAO (organisasi  pangan dan pertanian dunia) pada 1985.

Runtuhnya era Orde baru akibat krisis moneter dan revolusi mahasiswa mengakibatkan terganggunya stabilitas perekomonian disegala sektor termasuk pertanian. Sektor pangan menjadi terganggu, harga pangan dan beras sebagai konsumsi pokok masyarakat merangkak naik tak terkendali. Kekhawatiran akan kurangnya pangan bagi rakyat mengakibatkan pemerintah membuka sistem impor pangan demi mestabilkan kebutuhan. Sebenarnya sistem impor sendiri sudah ada sejak era Soekarno. Namun, kecenderungan impor terjadi pada era setelah kememimpinan Soeharto.

Sebetulnya, kebijakan ini bak pisau bermata dua. Disatu sisi, stock pangan impor melimpah dan prodak lokal menjadi tebengkalai. Hal inilah yang membuat keresahan para petani. Mereka harus memutar otak sebelum memasarkan prodaknya kepasaran. Apalagi prodak impor sendiri terbilang murah. Petani semakin sulit untuk meraih pasar konsumen yang sudah terbiasa dengan barang impor, apapun jenisnya.

Kebijakan impor sendiri, jika dilihat dari sisi globalisasi sebenarnya adalah cara cepat untuk merealisasikan kebutuhan. Sekalipun kebutuhan itu sendiri tak mendesak. Dengan kebijakan impor, Indonesia sebenarnya telah mencoba menaikan status dari Negara berkembang ke Negara maju dengan mengutamakan sektor penyewaan lawan kepada asing, pajak dan devisa dari TKI sebagai landasan pemasukan Negara. Sektor pertanian seakan dilupakan. Sebab, pemerintah saat ini mungkin lebih berprinsip pada dialek lama, time is money. 

Prinsip ini mungkin benar adanya. Coba kita ukur, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk panen hasil tani? Sekalipun ada teknologi untuk mempercepat waktu panen. hal ini seakan tak digubris pemerintah. Beberapa alasan yang mungkin relevan untuk mempertimbangkan matinya sektor tani di Indonesia, diantaranya:

1)      Pemerintah lebih senang membangun beton

Di point ini, pemerintah cenderung lebih suka menyewakan tanahnya kepada asing untuk berinvestasi. Hitung saja sendiri berapa banyaknya perusahaan asing  yang berdiri di Indonesia. Singkatnya, pemerintah hanya perlu menyewakan lawan kosong tanpa fasilitas apapun. Mereka bisa mendapatkan uang lebih banyak daripada mencoba mendirikan lahan pertanian yang belum tentu bisa menghasilkan profit. Mengingat banyaknya faktor yang mengakibatkan gagalnya profit untuk pemerintah, seperti gagal panen, bencana alam, hasil panen tak laku dipasaran dan lain sebagainya.

2)      Permainan harga oleh petani

Sebenarnya hal ini jamak terjadi. Setiap sentra perekonomian pasti memiliki permainan harga masing-masing.  Terkadang, masih banyak yang menjual hasil produksinya secara berlebihan dan tak sebanding dengan kualitas produk yang dihasilkan. Hal ini sudah barang tentu membuat geram rakyat, yang bertindak sebagai konsumen

3)   Maraknya budaya gantung cangkul

Banyak dari masyarakat yang merasa profesi sebagai buruh tani tak lagi bisa menyejahterahkan. Impor yang semakin gila, keterbatasan lahan serta pudarnya ideologi sebagai petani adalah beberapa faktor yang mempengaruhi proses gantung cangkul. Para petani yang “mempensiunkan diri” tersebut lebih memilih untuk bermigrasi ke kota dan mencari pekerjaan lain yang dianggap menyejahterahkan.

Ketiga faktor tersebut secara langsung ataupun tidak dapat mempengaruhi proses matinya pertanian di Indonesia. Sekali lagi, globalisasi dan perkembangan zaman telah merubah segalanya. Tugas dari para petani yang tersisa mungkin hanyalah memperbesar setiap kemungkinan yang akan terjadi dalam dunia pertanian sehingga orang orang seperti saya tak lagi memiliki sudut kemungkinan untuk berkata bahwa pertanian Indonesia akan mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar