Minggu, 29 Juni 2014

Di Minimarket

ORANG di sebelah saya pura-pura tak peduli ketika saya mempertanyakan si mas kasir tentang uang kembalian yang saya terima. Ia yang mendengar betul beberapa pertanyaan saya kepada si mas kasir, baru menatap ke arah saya ketika saya beranjak pergi dari mini market itu.

Kejadian tersebut bermula ketika saya membeli rokok di sana. Harga rokok saya 14.300 rupiah. Saya membayarnya 100.000. Tentulah saya berhak menerima uang kembalian senilai 87.700. Tapi tanpa babibu, tanpa satu kata pun keluar dari mulut si mas kasir, ia memberi saya hanya 87.500. Itu berarti uang kembalian saya kurang 200.

Pada saat itu, orang di sebelah saya tampak sedang mengutak-atik handphonenya. Saya tahu, itu hanya blocking saja lantaran ia mendengar percakapan serta teguran saya kepada si mas kasir.

“Bukankah harganya 14.300, mas?” tanya saya pada mas kasir.

“Iya, pak. Itu kembalinya,” katanya.

“Ini kok cuma 87.500, mas?”

Ia mengambil uang 500 rupiah. Tapi uang itu tak ia berikan pada saya. Ia hanya menggenggamnya sambil berkata, “200-nya gak ada, pak.”

Saya masukkan uang kembalian tadi ke dompet. “Kalau gak ada kembaliannya kenapa harganya mesti nanggung gitu?” tanya saya. “Harusnya uang kembaliannya disiapkan.”

Mas kasir itu diam saja. Orang di sebelah saya masih pura-pura main handphone.

“Lain kali, sediakan uang recehan, ya, mas,” sambung saya.

Mas kasir tak berani menatap saya. Ia hanya menganggukkan kepala dengan uang 500 rupiah yang masih dipegangnya.

Saya beranjak keluar mini market itu. Ketika menyalakan motor, mas kasir dan orang di sebelah saya tadi, tengah melihat saya dengan seksama. Dengan matanya, mereka menghukum saya padahal saya hanya mempertanyakan hak saya. Mereka barangkali berpikir saya orang yang pelit, atau orang yang ribet karena ributkan hal sepele.

Itu bukan pengalaman pertama saya. Sebelumnya, saya pernah mengalami hal serupa. Hanya saja, waktu itu caranya lebih “bermoral”: si kasir meminta saya mengamalkan kembalian yang “nanggung” itu.

Pengalaman tersebut menandakan satu hal: betapa remehnya uang recehan kini hingga seolah sudah selayaknya diabaikan atau digunakan untuk beramal, dan tak perlu dipertanyakan.

Saya jadi teringat dengan obrolan bersama teman saya, perempuan, tentang apa yang kebanyakan perempuan rasakan saat diminta Make Love dengan pacarnya. Teman saya mengatakan, kebanyakan perempuan ML dengan pacarnya tanpa kemauan sendiri, meski para perempuan itu bilang mereka melakukannya atas dasar mau sama mau, tanpa paksaan. Maksud teman saya, kebanyakan perempuan “dikondisikan” untuk mau, bukan karena memang mau.

Ketika berada dalam sebuah ruangan, berdua saja,  menurut teman saya, para perempuan kerap berada dalam kondisi yang membuat dirinya gak enakan. Dari hati kecilnya yang paling halus, para perempuan itu takut “terhukum” (semisal konsekwensi dari kekecewaan si pacar) bila menolak. Di titik itu, mereka berada dalam kondisi yang seolah membuat dirinya “mau”.

Kembali ke cerita saya, keadaan seperti itulah yang dialami banyak orang ketika berbelanja di minimarket. Kita berada dalam kondisi yang membuat kita seolah memang mau beramal ketika kasir minimarket bilang, “sisanya boleh diamalkan?” Dengan kata lain, kita dikondisikan untuk tak berkuasa mengatakan tidak karena takut dibilang pelit atau meribetkan hal yang – mungkin mereka pikir – sepele sekali untuk diributkan.

Memangnya, sejauh apa kita meremehkan uang recehan saat ini, sehingga kita seolah tak pantas lagi mempertanyakannya? Lagi pula, apakah recehan kita yang kita amalkan pada mereka betul-betul mereka amalkan? Atau jangan-jangan, recehan yang kita abaikan itu malah menjadi bagian dari keuntungan mereka?

Sudahlah, begitu saja cerita saya di hari pertama proyek 30 hari menulis ini. Sampai di sini, tentu Bayu dan Heri akan protes tulisan saya. Karena, kesepakatan awal kami, selain tiap orang memposting satu tulisan setiap hari selama 30 hari, tema tulisan juga harus bernafaskan Ramadhan.

Bayu sudah lebih dulu memposting tulisan. Ia tahu betul bagaimana cara menjadi “islami”. Karena itu, ia sok menjadi “Arab” sejak judul: ia menggunakan “kun fayakun”.

Agar tulisan ini agak memenuhi syarat kesepakatan awal, maka saya letakkan saja satu ayat dari Al-Quran hasil googling dengan keyword “ayat Al-Quran tentang cinta”:

ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَأَنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

"Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya, mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir." – (QS.16:107)


Day 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar