ORANG di sebelah saya pura-pura tak peduli ketika saya mempertanyakan si mas kasir tentang uang kembalian yang saya terima. Ia yang mendengar
betul beberapa pertanyaan saya kepada si mas kasir, baru menatap ke arah saya
ketika saya beranjak pergi dari mini market itu.
Kejadian
tersebut bermula ketika saya membeli rokok di sana. Harga rokok saya 14.300
rupiah. Saya membayarnya 100.000. Tentulah saya berhak menerima uang kembalian
senilai 87.700. Tapi tanpa babibu, tanpa satu kata pun keluar dari mulut si mas
kasir, ia memberi saya hanya 87.500. Itu berarti uang kembalian saya kurang 200.
Pada
saat itu, orang di sebelah saya tampak sedang mengutak-atik handphonenya. Saya
tahu, itu hanya blocking saja lantaran ia mendengar percakapan serta teguran saya kepada si mas kasir.
“Bukankah
harganya 14.300, mas?” tanya saya pada mas kasir.
“Iya,
pak. Itu kembalinya,” katanya.
“Ini
kok cuma 87.500, mas?”
Ia
mengambil uang 500 rupiah. Tapi uang itu tak ia berikan pada saya. Ia hanya
menggenggamnya sambil berkata, “200-nya gak ada, pak.”
Saya
masukkan uang kembalian tadi ke dompet. “Kalau gak ada kembaliannya kenapa
harganya mesti nanggung gitu?” tanya saya. “Harusnya uang kembaliannya
disiapkan.”
Mas
kasir itu diam saja. Orang di sebelah saya masih pura-pura main handphone.
“Lain
kali, sediakan uang recehan, ya, mas,” sambung saya.
Mas
kasir tak berani menatap saya. Ia hanya menganggukkan kepala dengan uang 500
rupiah yang masih dipegangnya.
Saya
beranjak keluar mini market itu. Ketika menyalakan motor, mas kasir dan orang
di sebelah saya tadi, tengah melihat saya dengan seksama. Dengan matanya, mereka menghukum saya padahal saya hanya mempertanyakan hak saya. Mereka barangkali berpikir saya orang yang pelit, atau orang yang ribet karena
ributkan hal sepele.
Itu
bukan pengalaman pertama saya. Sebelumnya, saya pernah mengalami hal serupa.
Hanya saja, waktu itu caranya lebih “bermoral”: si kasir meminta saya
mengamalkan kembalian yang “nanggung” itu.
Pengalaman
tersebut menandakan satu hal: betapa remehnya uang recehan kini hingga seolah
sudah selayaknya diabaikan atau digunakan untuk beramal, dan tak perlu dipertanyakan.
Saya
jadi teringat dengan obrolan bersama teman saya, perempuan, tentang apa yang
kebanyakan perempuan rasakan saat diminta Make
Love dengan pacarnya. Teman saya mengatakan, kebanyakan perempuan ML dengan pacarnya tanpa kemauan sendiri, meski
para perempuan itu bilang mereka melakukannya atas dasar mau sama mau, tanpa
paksaan. Maksud teman saya, kebanyakan perempuan “dikondisikan” untuk mau,
bukan karena memang mau.
Ketika
berada dalam sebuah ruangan, berdua saja,
menurut teman saya, para perempuan kerap berada dalam kondisi yang
membuat dirinya gak enakan. Dari hati kecilnya yang paling halus, para
perempuan itu takut “terhukum” (semisal konsekwensi dari kekecewaan si pacar) bila menolak. Di titik itu, mereka berada dalam kondisi yang seolah
membuat dirinya “mau”.
Kembali
ke cerita saya, keadaan seperti itulah yang dialami banyak orang ketika
berbelanja di minimarket. Kita berada dalam kondisi yang membuat kita seolah memang mau
beramal ketika kasir minimarket bilang, “sisanya boleh diamalkan?” Dengan kata
lain, kita dikondisikan untuk tak berkuasa mengatakan tidak karena takut
dibilang pelit atau meribetkan hal yang – mungkin mereka pikir – sepele sekali
untuk diributkan.
Memangnya, sejauh apa kita meremehkan uang recehan saat ini, sehingga kita seolah tak pantas lagi mempertanyakannya? Lagi pula, apakah recehan kita yang kita amalkan pada mereka betul-betul
mereka amalkan? Atau jangan-jangan, recehan yang kita abaikan itu malah menjadi
bagian dari keuntungan mereka?
Sudahlah,
begitu saja cerita saya di hari pertama proyek 30 hari menulis ini. Sampai di
sini, tentu Bayu dan Heri akan protes tulisan saya. Karena, kesepakatan awal
kami, selain tiap orang memposting satu
tulisan setiap hari selama 30 hari, tema tulisan juga harus bernafaskan Ramadhan.
Bayu
sudah lebih dulu memposting tulisan.
Ia tahu betul bagaimana cara menjadi “islami”. Karena itu, ia sok menjadi “Arab”
sejak judul: ia menggunakan “kun fayakun”.
Agar
tulisan ini agak memenuhi syarat kesepakatan awal, maka saya letakkan saja satu
ayat dari Al-Quran hasil googling dengan
keyword “ayat Al-Quran tentang cinta”:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى
الآخِرَةِ وَأَنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
"Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya,
mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada
memberi petunjuk kepada kaum yang kafir." – (QS.16:107)
Day
1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar