Senin, 30 Juni 2014

Aku Bukan Manusia, Aku Dinamit

Saya membuat judul buku yang membahas tentang filsafat Nietzsche dan politik anarkis sebagai judul tulisan saya ini. Memang agak membingungkan ketika pandangan Nietzsche disangkutpautkan dengan politik sama rata macam anarkisme. Pasalnya, Nietzsche mengutuk amat keras pandangan anarkis maupun sosialis.

Namun, seperti yang saya sebutkan di tulisan saya sebelumnya, semesta adalah mekanisme tunggal. Segala sesuatu yang terjadi saling berkaitan dengan yang lainnya. Begitu pula filsafat Nietzsche dengan politik anarki. Mereka berhubungan. Mungkin juga saling mempengaruhi, saling cinta, walaupun ada kutuk di antara keduanya.

Sama rasa sama rata yang dianut oleh anarkisme ditentang Nietzsche karena akan menggerogoti kapasitas dan keinginan individu untuk hidup dengan sehidup-hidupnya. Sean M. Sheehan menulis;
“Kritik Nietzsche ditujukan pada konsekuensi psikologis tatanan sosial yang berkeras mengubah konsep-konsep bikinan manusia menjadi kebenaran abadi. Dalam pandangan Nietzsche, penyakit psikologis ini terjadi karena manusia selalu membutuhkan seperangkat kepercayaan untuk menenangkan arus kehidupan yang semrawut dan tanpa makna supaya dapat membuat hidup menjadi lebih mudah untuk ditanggung. Penyakit modern inilah yang ditentang Nietzsche.”
Dan, kebenaran memang tak sanggup untuk abadi. Hanya kepercayaan yang dapat abadi.

Di tengah pertentangan antara filsafat Nietzsche dengan politik anarki, fasis diam-diam memcaplok pemikirian Nietzsche yang radikal. “Apa yang dianggap perang oleh ‘agama Semit yang menerima hidup’ seperti budaya timur hanya dipandang sebagai gemuruh derap langkah binatang oleh ‘agama Semit negatif’ di barat.” (Lihat: Menunggu Ratu Adil II)

Berbicara tentang Ratu Adil, saya teringat pemilu presiden Indonesia yang akan berlangsung beberapa hari lagi. Ada yang diaanggap fasis dan mungkin satunya adalah sosialis. Mereka sebisa mungkin menyamai penampilan Ratu Adil yang telah lama dinanti.

Mereka mengharap setinggi-tingginya kepada kedua calon. Kedua calon dianggap sebagai kebenaran bagi kaumnya masing-masing. Segala cara kampanye disampaikan untuk memproduksi kebenaran tersebut, hingga akhirnya menjadi kepercayaan. Dan fatalnya, daya nalar seseorang perlahan menghilang ketika wacana telah menjadi sesuatu yang amat dipercaya, sebanding dengan agama.

Saya yakin, seorang fanatik Jokowi tak akan berubah pikiran ketika fakta membuat Jokowi tak berdaya. Mereka takut fasisme kembali menjelajah Nusantara. Dan sebaliknya, fanboy Prabowo pun tak akan terima –sebaik apapun media menyampaikan fakta, sebodoh apapun Ahmad Dhani menggunakan tanda.

Mereka lupa bahwa kedua calon adalah manusia. Dan, saya akan ingat pada sabda baginda besar nabi Muhammad SAW;
Sesungguhnya setan mengalir di dalam (tubuh) manusia seperti mengalirnya darah. Maka tundukkanlah dia dengan berpuasa.” HR. Buchari.
Namun, aku bukan manusia, aku dinamit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar