Minggu, 06 Oktober 2013

Bahasa yang Tak Perlu Memiliki Arti


Sebagian dari kita pasti pernah dibuat takut, cemas, dan was-was oleh bahasa. Maksud saya, tidak mengertinya kita dengan kata, istilah, atau bahasa tertentu membuat diri kita terkesan bodoh dan terbelakang, sehingga kita mengizinkan diri untuk tunduk. Misalnya, jika anda pergi ke dokter karena perut anda sakit, dokter akan menyebutnya dengan istilah medis yang rumit dan sama sekali tidak anda mengerti. Anda dibuat terlena oleh istilah yang ia gunakan. Dengan begitu, anda lalu menyerahkan kuasa tubuh anda padanya. Ketidakmengertian membuat anda merasa pantas kehilangan kuasa atas tubuh anda sendiri. Padahal, istilah dokter yang rumit sebenarnya dapat anda sebut sebagai “mules”.

Nah belum lama ini, saya melihat permasalahan serupa di kampus. Ada poster milik sebuah organisasi yang bermaksud untuk mengajak mahasiswa agar masuk ke organisasi tersebut. Poster-poster itu banyak mengutip tokoh-tokoh dunia – sebagai cara pencitraan – salah satunya adalah Adolf Hitler. Tapi bukan itu yang ingin saya bahas. Yang menarik perhatian saya adalah dua poster lain yang mereka buat sendiri, kurang lebih berbunyi: “DICARI MAHASISWA INTELEKTUAL UNTUK BERGABUNG BERSAMA KAMI” dan “ANDA MERASA PINTAR BERDIALEKTIKA? GABUNGLAH BERSAMA KAMI.”

Ada dua kata kunci dalam dua poster itu: intelektual dan dialektika. Tapi, apakah artinya intelektual? Apakah artinya dialektika? Mengapa organisasi tersebut menggunakan dua kata itu?

Kata “intelektual” dan “dialektika” sebenarnya digunakan cenderung untuk fungsi pencitraan. Bagi mahasiswa yang tak mengerti, penggunaan kata tersebut akan membuatnya terlena dan menarik perhatiannya, justru karena ia tak mengerti artinya. Hirarki semu pengetahuan pun terbentuk. Kedua kata itu akan menciptakan kesadaran di dalam dirinya bahwa ia bodoh. Ketika ia menganggap dirinya bodoh, ia lantas akan bergabung dengan organisasi tersebut (organisasi yang terkesan pintar). Tetapi bagi mahasiswa yang mengerti (mungkin bisa saya sebut sebagai mahasiswa intelek itu sendiri), tentu tidak akan terlena begitu saja dengan poster yang sekadar menjual kata-kata sulit.

Saya tak mengerti, apakah semua ini ada hubungannya dengan Vicky Prasetyo atau tidak. Atau barangkali, semua ini ada hubungannya dengan Indonesian Lawyers Club dan sidang-sidang banal DPR yang kerap menampilkan debat-debat fiksi, yang menggunakan kata-kata rumit untuk membuat kenyataan menjadi seolah-olah rumit dan tak dapat kita mengerti, sehingga kita tak pantas berbicara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar