Jumat, 19 Oktober 2012

Keluh Kesah Seorang Pembawa Amanah


Dalam ajaran Islam, amanah yang dititipkan seseorang yang sudah disepakati bersama wajib hukumnya untuk dijaga dan/atau dijalankan. Ketika amanah yang telah diepakati tidak terlaksana, maka label munafik akan segera menempel di kepala orang-orang yang tidak menyampaikan amanah itu. Saya diberi kepercayaan untuk menyampaikan amanah dari seorang kawan. Tentu, sebagai muslim yang kadang patuh pada ajaran agama dan tidak ingin bermunafik-ria, saya menjaga amanah itu dan berusaha untuk tidak mengkhianatinya.

Amanah tetap amanah. Kesepakatan telah tercipta. Alamat tujuan amanah itu sudah diberikan, tinggal bagaimana jalannya.

Terik matahari yang menyengat, kemacetan lalu lintas terlihat di setiap ruas, serta kesewenangan pengguna jalan yang selalu senang untuk menyerobot. Ya, ini tentang Jakarta. Kali ini saya berkeluh-kesah tentang ibukota negara yang bernama Indonesia. Tak hanya tentang Jakarta, tapi tentang sebuah alamat yang “aneh”. Sebuah alamat yang diamanahkan kawan saya untuk dikunjungi.

Peta sebagian selatan Jakarta

“Aneh”, karena hampir tiga jam berputar-putar mengelilingi secuil bagian Jakarta sebelah selatan alamat itu tak kunjung ditemui. Alih-alih bertanya kepada yang lebih tahu, malah tersasar entah ke tempat yang semakin membuat linglung. Patokan yang diberikan adalah supermarket Giant –yang dalam bayangan saya berbentuk giant pula. Namun, nyatanya supermarket tersebut terselip antara ruko-ruko biasa yang bersarnya hampir sama dengan yang disebut sebagai giant. Sekali lagi, saya tertipu oleh sebuah kata.

Setelah perjalanan “panjang” akhirnya amanah itu dapat tersampaikan. Mungkin ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai reminder dari keluh kesah ini. Pertama, amanah yang telah disepakati adalah kewajiban untuk dipenuhi. Seorang manusia dipandang bukan karena ucapannya, melainkan perbuatannya. Pun akhirnya keluh kesah ini lahir, tapi setidaknya amanah itu telah tersampaikan (paragraf ini adalah sebuah pembenaran).

Kedua, kata Giant tak selalu bermakna giant. Sebuah kata memang lazimnya terbentuk dari satu makna yang diinginkan penciptanya. Tapi ketika kata itu telah lahir, secara bersamaan makna tunggal itu menjadi tak berarti, mati. Namun, ketika sang pencipta (pemberi amanah) masih ada, tak ada salahnya untuk bersikap skeptis.

Ketiga, alamat lengkap bukan jaminan untuk sampai tujuan dengan cepat. Alamat memang petunjuk yang paling benar, namun bukan berarti yang paling baik –apalagi bila ditujukan kepada orang-orang yang menghafal tempat, bukan alamat. Pada hemat saya, sebagian (besar atau kecil, itu relatif) warga Jakarta tidak hafal nama-nama jalan yang ada. Mereka menghafal tempat-tempat yang populer sebagai patokan untuk pergi ke suatu tempat. Patokan tempat yang populer, mungkin, bila dipadukan dengan alamat lengkap, akan penjadi sebuah pentunjuk yang sempurna –walaupun di dunia tak ada yang sempurna, setidakknya mendekati.

Mungkin sampai di sinilah akhir keluh-kesah saya –setidaknya untuk saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar