Sabtu, 20 Oktober 2012

Jurnalisme Konvensional vs Jurnalisme Warga



“Wartawan bukan cuma menyampaikan fakta, tapi menyampaikan kebenaran. Sebab ia bukan saluran telepon” –Farid Gaban


Wartawan, melalui media konvensional kini cenderung hanya menyampaikan fakta. Suatu fenomena seringkali disajikan begitu saja dengan bahan berita seadanya. Akibatnya, ketika sebuah berita dipublikasi, masyarakat tak bisa melihat kenyataan sepenuhnya. Hal ini bisa dengan mudah ditemukan terutama di media televisi dan online yang bersifat hiperaktual.

Dengan serampangnya fakta-fakta di lapangan, wartawan berhak memilah fakta-fakta mana yang akan diberitakan. Ini yang menjadi kekhawatiran banyak orang. Sebab, saat ini, di era konglomerasi media, hal itu menjadi cara untuk menafsirkan, menyelewengkan, dan juga menciptakan kebenaran versi pemilik media. Melalui fakta-fakta yang dipilah, alih-alih merepresentasikan kenyataan, ia malah menutupi sekaligus menyelewengkan kenyataan. Ini yang Baudirllard sebut sebagai “simulacrum”.

Tapi bukankah kebenaran itu memang relatif? Lalu, harus menggunakan standar yang mana?

Andreas Harsono, dalam bukunya A9ama Saya adalah Jurnalisme, mengatakan bahwa dalam jurnalisme kebenaran memang relatif. Tapi bukan tidak ada. Ia ada, tapi tak mutlak. Kebenaran hari ini belum tentu kebenaran besok hari. Begitu seterusnya. Itu mengapa, jurnalisme justru berpeluang untuk terus mengoreksi.

Oleh karena itu, kesimpangsiuran “kebenaran” juga menimbulkan hal positif: semua media massa bisa menafsirkan suatu fenomena dengan hasil interpretasi yang berbeda. Namun itu justru memungkinkan dialektika yang dinamis, dan pada gilirannya, selalu mengoreksi.

Celakanya, konglomerasi media juga menimbulkan monopoli media massa. Hal itu sangat mengkhawatirkan karena monopoli media juga berarti monopoli makna, persepsi publik.

Jurnalisme konvensional yang isi beritanya sarat dengan kepentingan pun diragukan. Dari situ, muncullah jurnalisme warga.

Berbeda dengan jurnalisme konvensional yang kerap menyajikan isu-isu yang hanya menopang kepentingan pemilik, jurnalisme warga menyajikan isu-isu publik (masyarakat dalam suatu daerah tertentu) yang tidak tersentuh oleh media-media konvensional. Ini yang dalam artikel Agus Sudibyo berjudul “Jurnalisme Warga” disebut sebagai fungsi demokrasi leberatif, yang memungkinkan semua pihak terlibat dalam isu-isu publik.

Dalam ranah musik, sebenarnya banyak komunitas Punk (sekarang sudah semakin berkembang, tidak hanya di komunitas Punk) yang telah lebih dulu mempraktekkan hal ini. Di setiap pertunjukkan musik, seringkali mereka berbagi pandangan terhadap isu lokal dengan cara bertukar zine (semacam majalah, yang dikelola secara mandiri). Mengingat semakin banyaknya celah pemberitaan di media karena keterbatasan dan juga independensinya, praktik itu sangat dibutuhkan.

Tapi problemnya, jurnalisme adalah persoalan verifikasi kebenaran. Karya jurnalisme warga dianggap lemah dalam verifikasi, akurasi, serta pemisahan antara opini dan fakta. Karena itu, jurnalisme warga juga diragukan.

Meski begitu, sebetulnya jurnalisme konvensional maupun jurnalisme warga, keduanya berada di ranah hukum. Dewan pers dan KPI diharapkan tetap mengkaji permasalahan-permasalah di media konvensional. Kemenkominfo tetap mengamati permasalahan komunikasi di ranah publik.

Dari permasalahan di atas, dapat disimpulkan bahwa Jurnalisme Konvensional dan Jurnalisme Warga memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Bagi saya, itu adalah hal positif karena jika keduanya dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan informasi, kenyataan akan terlihat lebih berimbang. Selain itu, keduanya juga memiliki fungsinya masing-masing: Jurnalisme Konvensional untuk isu umum, Jurnalisme Warga untuk isu lokal yang tak tersentuh Jurnalisme Konvensional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar