Rabu, 16 Juli 2014

Sepakbola, Islam dan The White Stripes

Sepak bola akhir-akhir ini menjadi isu yang mutakhir. Di tengah hiruk pikuk Piala Dunia Brasil dan menjamurnya analisis kontemporer tentang sepak bola, tak bisa tidak, kami pun hanyut di dalamnya. Hanyut dalam analisis segar, saat mysupersoccer telah menjadi basi.

Heri Susanto adalah penulis yang paling getol mengankat isu sepakbola. Mulai dari isu apparel, politik dalam negeri, kapitalisme, teori Kun Fayakun, hingga konflik Gaza, semua dilibas atas nama sepakbola. Padahal, saya bersumpah atas nama colokan usb, penampilannya sehari-hari sangat tidak cocok dengan sepakbola. Mungkin, satu-satunya yang dipaksakannya adalah; memakai seragam Manchaster City agar dibilang sepaham dengan Noel Gallagher.

Sudahlah, tak ada nilai baik untuk membahasnya. Saya hanya mencari ice breaking untuk awal tulisan ini. Jika ternyata gagal, apa boleh buat.

Di edisi Ramahdan blog ini, tadinya kami mau mendefinisikan Islam secara lebih mendalam. Namun yang terjadi, malah di luar kesepakatan. Isu utamanya berpindah kepada sepak bola, di mana negara-negara Islam melulu gagal berkompetisi di tingkat dunia.

Masih segar untuk generasi saya –generasi yang lahir saat orang-orang berlarian di kuburan Santa Cruz mencari perlindungan dari amukan peluru tajam- pada Piala Dunia 2002, Saudi Arabia dibantai oleh Jerman. Saat itu Arab hanya menjadi bulan-bulanan negara lain. Tanpa pernah menang.

Terakhir adalah Iran yang mencicipi sebagai peserta Piala Dunia. Terlepas dari Islam Sunni ataupun Syaih yang menjadi mayoritas di Iran, saya tak ambil pusing. Yang penting, Iran identik dengan Islam. Membahas Sunni dan Syiah saat ini hanya menjadikan saya kontra-produktif.

Iran hanya mampu menahan imbang Nigeria, dan dalam dua pertandingan lainnya, mereka kalah. Nasib Arab dan Iran pun serupa, menjadi juru kunci grup.

Saya tak punya analisis apa-apa tentang negara-negara Islam di pentas sepak bola terbesar di Bumi ini. Saya hanya sedang ingin membicarakannya. Tak lebih, tak kurang. Mungkin besok atau lusa, saya akan membahas sosok muslim legendaris dalam dunia sepakbola; Zinedine Zidane. Mungkin.

Tapi untuk sekarang nikmatilah tulisan ini, sekurang-kurangnya, bacalah dua paragraf awalnya. Karena, dosen saya selalu bilang; Lead adalah intisari dari sebuah berita. Meskipun ini bukan berita, tapi konsep itu tak salah jika digunakan.

Malam ini terlalu banyak nyamuk. Lantunan gitar dan suara Jack White yang setia dalam ketukan Meg White membawa mata saya sayup;
Here we are, no one else
we walked to school all by ourselves
there's dirt on our uniforms
from chasing all the ants and worms
we clean up and now it's time to learn
we clean up and now it's time to learn
Tabik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar