Tommy terdiam. Ia melihat awan hitam semakin menyelimuti
fajarnya yang tak suka datang terlambat. Cahaya terang hampir tak menembus
gugusan air yang pekat. Tangannya berlumur darah, sebilah gergaji di tangang
kirinya menyaksikan sebuah kepuasan meluap-luap. Bau amis menyekap pagi yang
pengap. Dalam keremangan, Tommy mencoba mengingat kembali mengapa ia di sini.
Kala itu, hujan sedang marah pada bumi. Sudah setahun lebih
ia tak mampir menyapa tanah yang mulai terbelah. Panas semakin berkuasa saat
tak ada hujan yang biasa melawan. Tommy yang masih dalam kendungan, perlahan
keluar memalui kemaluan ibunya yang sesaat langsung meninggal.
Tommy kecil adalah manusia terbuang. Ibunya berjuang keras
mengantarkan sebuah nyawa padanya sebelum akhirnya dijemput paksa malaikat.
Bapaknya entah di mana. Mungkin maih ada, mungkin telah tiada. Konon, Ibunnya
tak pernah mencintai bapaknya. Tommy lahir dari kecelakaan yang tak pernah
diinginkan. Cerita-cerita tersebut membesarkan Tommy hingga kini. Ia tumbuh
dengan aib orang tua yang telah tiada. Sendiri Tommy mencari kebahagiaan dalam
perkumpulan anak-anak terlantar di panti asuhan.
Tak ada teman, semua mengucilkan. Bahkan dengan sesama
manusia terbuang.
Tommy begitu malang. Tak seperti nama tommy lainnya yang
menjadi pemegang tahta kala ayahnya berkuasa. Nasib nama memang tak selalu, tak
akan, sama.
Pagi itu, ia tak sempat sembahyang. Waktunya habis untuk
melamunkan asal-usul yang tak seharusnya ada. Tak seharusnya dilamunkan. Ada kebencian
yang bertambah ketika ia kembali merenungkannya. Semakin tebal. Hingga kuasa
tangannya melebihi akal sehatnya.
Sebelum memutuskan untuk tidak sembahyang, Tommy pergi ke
gudang. Gergaji itu terus memanggil, meminta untuk berkeliling mencari
ketenangan. Tommy yang kerasukan pikiran, menyembelih ratusan manusia tebuang
yang belum sempat melihat fajar menjelang hari itu.
Tak ada jerit tangis kematian. Tak ada pemberitaan besar
tentang pembantaian. Ini hanyalah kisah orang-orang malang, orang yang
terbuang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar