Ilustrasi cover roman Bumi Manusia |
Ah, mengapa engkau masih juga mengutip Mario Teguh, sayangku?
Aku tahu kau sedang butuh pegangan hidup. Namun, ah, mengapa harus Mario Teguh,
sayang?
Sudikah kau mendengarku bercerita tentang Minke. Tahu kau
Minke? Aku ragu kau mengenalnya. Minke hidup dalam khayalan Pram. Apa? Kau
juga tak kenal Pram? Pramoedya Ananta Toer?
Mungkin agak panjang untuk diceritakan. Tapi untukmu, apapun
akan kulakukan, sayangku.
***
Dulu, saat kau dan aku masih dalam alam ruh, Pram hidup. Sampai
kita lahir ke dunia, ia masih hidup. Sayang, ia meninggalkan kita pada usia 81
tahun, 2006 silam, saat aku masih duduk di bangku sekolah menegah pertama.
Hidupnya pahit, sayang. Ia dipenjara oleh tiga zaman. Penjara
Kolonial, Orde Lama dan Orde Baru pernah dienyamnya. Hampir separuh umurnya
habis dipenjara. Orde Baru mengasingkannya ke pulau Buru, sebagai tahanan
politik, tanpa proses pengadilan. Sebabnya? Ia dituduh PKI.
Ah, ia hanya sebagian dari orang yang dituduh. Banyak yang
lebih sial. Orang-orang yang mati di pantai. Hanya karena dituduh. Tak ada
bukti. Tak ada pengadilan.
Namun, mungkin baru Pram yang meninggalkan kenangan kepadaku.
Karena ia menulis. Ia menulis tentang kepahitan. Minke adalah salah satu
kepahitannya.
Minke lahir dari keluarga bangsawan rendah. Beruntungnya,
meskipun keturunan bangsawan rendah, ia bersekolah. Dulu, hanya keturunan
bangsawan yang bisa sekolah, sayang. Priyayi. Mereka yang bukan bangsawan, bukan
priyayi, bukan totok, bukan indo, hanya bisa melakukan sembah. Melawan dengan
darah.
Minke sadar ketidakadilan itu. Ia memberontak. Ia menjadi
enggan menyembah bangsawan, kelasnya sendiri. Dan sebaliknya, ia tak mau
disembah.
Sayang, nasib Minke sungguh memilukan. Pernikahannya yang
pertama, dengan gadis Indo, putri cantik yang lahir dari rahim Nyai Ontosoroh
berkat air mani Herman Mallema, dipisahkan oleh jahatnya hidup.
Annelies Mallema.
Kau tahu Nyai Ontosoroh? Ia dulunya adalah gadis pribumi
yang dipaksa kawin dengan Kompeni Herman Mallema oleh ayahnya, agar sang ayah
mendapatkan posisi sebagai juru tulis di pabrik gula. Kawin, sayangku. Tak ada
surat. Sampai lahirlah Robert Mallema dan Annelies Mallema, istri Minke.
Setelah Mallema tak lagi menjabat di pabrik gula, Nyai dan
Mallema membuka usaha sendiri. Bukan Mallema yang mengembangkan, tapi Nyai.
Nyai berjuang keras, menahan rasa dendam kepada keadaan, menghidupi dirinya
sendiri. Nyai perlahan menjadi berubah dari gadis desa, menjadi perempuan yang
gigih. Sementara Mallema hanya bisa menghabiskan uang dan waktunya di rumah pelacuran,
setelah anaknya dari Belanda datang menuntuk haknya.
Mallema yang linglung, sayang. Ia sudah punya keluarga di
Belanda, namun ditelantarkannya. Anak dari istri pertamanya minta haknya.
Mallema linglung, sampai akhirnya mati di rumah pelacuran.
Ah, sayangku. Kau tahu, seluruh usaha yang telah dibangun
oleh Nyai Ontosoroh? Saat ini, usahanya terancam. Karena itu adalah hasil dari
modal Mallema. Keturunan Mallema yang diakui adalah yang berasal dari istri
pertamanya, dari Belanda. Nyai Ontosoroh tak pernah resmi menjadi istri
Mallema. Hanya karena surat, sayangku. Dan, memang saat itu gadis pribumi
dianggap tak pantas menikah dengan totok. Ia hanya sebatas Nyai. Bukan Nyonya.
Penjajah waktu itu benar-benar rakus, sayangku. Mereka tahu,
biar bagaimanapun, Robert dan Annelies pasti kebagian hak waris atas kekayaan
Herman Mallema. Mereka ingin menghancurkannya.
Annelies saat itu masih berumur 16 tahun. Pernikahan dengan
Minke pun hanya dilakukan secara agama. Keluarga Mallema dari Belanda memaksa
hak asuh atas Annelies dari Nyai Ontosoroh, ibu yang tidak diakui pemerintahan
Hindia-Belanda.
Nyai tentu tidak diam. Dia adalah perempuan cerdas. Ia melawan.
Lewat pengadilan, perlawanan dilakukan. Tapi, bagaimana? Pribumi
saat itu adalah kasta terendah di dataran Hindia-Belanda. Hakim pasti memihak
keluarga Mallema yang sah.
Minke pun turut melawan. Ia menulis untuk melawan. Minke menulis
di koran-koran berbahasa Belanda. Namun, siapa pribumi yang bisa membaca
Belanda kalau bukan Priyayi? Priyayi, sayangku, adalah antek Belanda. Hanya kaki-tangan.
Berniat melawan pun, mungkin sudah gentar.
Mereka kalah. Nyai dan Minke harus dipisahkan dengan
bidadarinya, Annelies.
Annelies dibawa ke Belanda untuk diasuh oleh keluarganya
yang sah. Alih-alih diasuh, Annelies yang saat itu tertekan secara mental
karena dipaksa berpisah dengan suami dan ibu kandungnya, diterlantarkan.
Annelies akhirnya meninggal, sayangku. Di negeri yang jauh
dari suaminya, dari ibu kandungnya.
“Kita kalah, Ma,” bisik Minke pada Nyai.
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya,
sehormat-hormatnya.”i
***
Lantas kau masih menggantungkan kepercayaanmu kepada Mario
Teguh, sayang? Munugkin, nanti akan kulanjutkan kisah tentang kepahitan itu.
Catatan:
i Kalimat terakhir dalam roman Bumi Manusia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar