Siang itu langit
sedikit muram namun tak kunjung meneteskan hujan. Riko datang, saya ambilkan agar-agar
dan teh manis untuk dijadikan dorongan (berguna untuk menetralisir, layaknya
jeruk nipis untuk sebotol jamu lokal). Ya, berbicara dengan Riko memang lebih
afdol bila memakai dorongan agar semuanya lancar.
Dia datang mencari
segudang pekerjaan untuk mengisi waktu luangnya saat libur kuliah. Tak hanya
itu, ia pun memasang iklan motornya yang masih layak pakai (ini kisah nyata,
jadi kalau ada yang berminat segera hubungi saya).
Sudah selesai dengan
tujuan awalnya datang ke rumah, tiba-tiba dorongan yang saya berikan mulai bereaksi,
dikeluarkan handphone dari saku
celana pendeknya dan ia pun mulai mendengarkan lagu dari playlist-nya. Lagu asing lagi yang terdengar –setidaknya untuk
telinga saya- seperti Wieteke van Dort, Soundtrack serial Kera Sakti, Bob
Marley, dan banyak lagi. Tapi ada satu lagu yang mengingatkan saya tentang hari
Minggu siang ketika tahun 90-an, di mana panas matahari masih terhalang
rimbunnya pepohonan.
Anda salah bila mengira
lagu yang terdengar adalah suara-suara pemberontakan a la grunge Nirvana, lagu
dengan lirik-lirik misoginis Bon Jovi, atau pop manis indie lokal angkatan
Rumahsakit. Lagu yang melantun dari handphone
Riko bercerita tentang seorang pendekar yang selalu mengisi Minggu siang
anak-anak 90-an.
Anak-anak yang kala
itu yang menikmati hidupnya dengan berlarian, mengumpat di balik jembatan,
lewat sambil tertawa di atas sepeda, dan berkelahi setelah diadu oleh teman
yang lebih tua. Setelah mereka cukup lelah, saat yang tepat untuk pulang dan
menonton serial seorang pendekar berbaju putih dan ikat kepala berwarna putih
pula. Seorang pendekar yang kala itu cukup kondang di pergaulan anak-anak 90-an.
Bukan, bukan Catatan
si Boy yang menceritakan seorang pemuda kaya raya. Bukan pula serial Lupus yang
berteman dengan hari-hari sibuk nan melelahkan. Pendekar itu bernama Wiro
Sableng yang mempunyai guru bernama Sinto Gendeng. Dan, satu yang masih saya
ingat, delman itu nyungsep ke sebuah lubang.
Wiro Sableng yang terkenal
dengan nomor dada 212, mempunyai sebuah kapak yang ajaib. Entah apa yang ada
dipikiran Riko mendengarkan (lagi) soundtrack Wiro Sableng, namun lagu itu
sedikit membuat saya bernostalgia dengan, ya.. anak-anak 90-an. Bernostalgia dengan
otot-otot yang saya punya ketika itu, ketika menjadi manusia sempurna. Bila
tulisan ini hanya terpajang dalam layar monitor Anda, itu tandanya otot saya
sudah tak sempurna dulu lagi, seperti anak-anak 90-an dengan nyanyiannya. Setidaknya
sekarang kita bisa bernostalgia menjadi manusia sempurna.
Satu pesan dari Riko
siang itu, “Dari C#7 cuk, yok sama-sama
yok... cokocokocokocokocokocok...” biar sableng, biar jadi bener.