Pertanian di Indonesia sempat menjadi bahan pembicaraan
masyarakat dunia, khususnya Eropa. Hasil tani Indonesia sempat menjadi salah
satu komoditas paling dicari oleh bangsa Eropa. Invasi Portugal ke bumi pertiwi
pada tahun 1500an menjadi indikasi betapa berartinya hasil tani kita untuk
mereka. Karena pada saat itu, harga hasil tani di pasar Eropa dan Afrika
sangatlah mahal. Sehingga bangsa Eropa mencoba mencari alternatif lain untuk
menekan pengeluaran dalam sektor pangan, yaitu dengan cara mencarinya ke belahan
Asia dan Amerika Selatan.
Awalnya bangsa Eropa hanya ingin membeli berbagai prodak
pertanian dengan harga murah dan membawanya kembali ke negaranya. Lambat laun,
mereka berfikir untuk menguasai segala aspek yang ada di Indonesia, tak
terkecuali pertanian. Portugal, Inggris, Belanda hingga Jepang silih berganti
mengoyak segala kekayaan alam bangsa tercinta ini. bahkan Belanda telah
mengusai Negara ini selama 3,5 abad demi mencapai kemakmuran pribadi dan
bertindak semena-mena kepada rakyat.
Kesewenang-wenangan inilah yang kemudian mengakibatkan
timbulnya pemberontakan rakyat. Revolusi
dimulai dari sistem sewa pajak tanah yang diprakarsai oleh Rafless. Sang penemu
Raflessia Arnoldi. Singkatnya, Rafless ingin segala bentuk hasil yang ditanam
di tanah Jawa harus dikenakan biaya ekstra. Sistem ini jelas memberatkan dan
membuat para petani geram. Siapa yang mau membayar pajak jika kita harus
membayar hasil tani di tanah sendiri? Kebijakan Rafless ini mengakibatkan pemberontakan
Jawa, atau biasa disebut perang Diponegoro.
Selain itu, ada juga sistem tanam paksa yang digagaskan
gubernur Hindia Belanda saat itu, Johannes Van Den Bosch yang mewajibkan setiap desa menyisihkan 20 %
tanahnya untuk ditanami komoditi yang laku keras dipasar Eropa seperti kopi,
nila dan tebu. Hasil dari tanaman komoditi ini harus dijual kepada colonial belanda
dan siapapun yang tak memiliki tanah harus bekerja selama 75 hari untuk
memenuhi tuntuan 20 % tersebut. Kenyataannya, warga desa harus menanam semua
komoditi tersebut di lahan mereka dan warga dilarang menanam tanaman lain. Sehingga warga yang
berprofesi sebagai petani tak bisa mendapatkan keuntungan dari hasil panen. Karena
pemerintah Belanda menetapkan harga panen tersebut. Siapa petani yang tahan
akan kebijakan tersebut. Mereka harus melawan kesewenang wenangan penjajah
dengan beragam kekuatan. Mungkin inilah yang mendasari band Hardcore asal
Jakarta, Srtaight Answer menciptakan athem fenomelan bagi kaum marjinal, “Bangkit
melawan atau tunduk ditindas.”
Setelah era kemerdekaan. Sektor pertanian Indonesia bisa
dikatakan telah mencapai puncaknya. Hal ini dikarenakan kebijakan mantan
presiden Soeharto yang menerapkan sistem swasembada pangan dalam program
Repelita IV. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil menciptakan swasembada beras
karena bersahil memproduksi 25,8 ton beras. Hal ini kemudian berujung pada
ganjaran penghargaan dari FAO (organisasi
pangan dan pertanian dunia) pada 1985.
Runtuhnya era Orde baru akibat krisis moneter dan revolusi
mahasiswa mengakibatkan terganggunya stabilitas perekomonian disegala sektor
termasuk pertanian. Sektor pangan menjadi terganggu, harga pangan dan beras
sebagai konsumsi pokok masyarakat merangkak naik tak terkendali. Kekhawatiran akan
kurangnya pangan bagi rakyat mengakibatkan pemerintah membuka sistem impor
pangan demi mestabilkan kebutuhan. Sebenarnya sistem impor sendiri sudah ada sejak
era Soekarno. Namun, kecenderungan impor terjadi pada era setelah kememimpinan
Soeharto.
Sebetulnya, kebijakan ini bak pisau bermata dua. Disatu sisi,
stock pangan impor melimpah dan prodak lokal menjadi tebengkalai. Hal inilah
yang membuat keresahan para petani. Mereka harus memutar otak sebelum
memasarkan prodaknya kepasaran. Apalagi prodak impor sendiri terbilang murah. Petani
semakin sulit untuk meraih pasar konsumen yang sudah terbiasa dengan barang
impor, apapun jenisnya.
Kebijakan impor sendiri, jika dilihat dari sisi globalisasi
sebenarnya adalah cara cepat untuk merealisasikan kebutuhan. Sekalipun kebutuhan
itu sendiri tak mendesak. Dengan kebijakan impor, Indonesia sebenarnya telah
mencoba menaikan status dari Negara berkembang ke Negara maju dengan
mengutamakan sektor penyewaan lawan kepada asing, pajak dan devisa dari TKI sebagai
landasan pemasukan Negara. Sektor pertanian seakan dilupakan. Sebab, pemerintah
saat ini mungkin lebih berprinsip pada dialek lama, time is money.
Prinsip ini mungkin benar adanya. Coba kita ukur, berapa
lama waktu yang dibutuhkan untuk panen hasil tani? Sekalipun ada teknologi
untuk mempercepat waktu panen. hal ini seakan tak digubris pemerintah. Beberapa
alasan yang mungkin relevan untuk mempertimbangkan matinya sektor tani di Indonesia,
diantaranya:
1)
Pemerintah lebih senang membangun beton
Di point ini, pemerintah cenderung lebih
suka menyewakan tanahnya kepada asing untuk berinvestasi. Hitung saja sendiri
berapa banyaknya perusahaan asing yang
berdiri di Indonesia. Singkatnya, pemerintah hanya perlu menyewakan lawan
kosong tanpa fasilitas apapun. Mereka bisa mendapatkan uang lebih banyak
daripada mencoba mendirikan lahan pertanian yang belum tentu bisa menghasilkan
profit. Mengingat banyaknya faktor yang mengakibatkan gagalnya profit untuk
pemerintah, seperti gagal panen, bencana alam, hasil panen tak laku dipasaran
dan lain sebagainya.
2)
Permainan harga oleh petani
Sebenarnya hal ini jamak terjadi. Setiap sentra
perekonomian pasti memiliki permainan harga masing-masing. Terkadang, masih banyak yang menjual hasil
produksinya secara berlebihan dan tak sebanding dengan kualitas produk yang
dihasilkan. Hal ini sudah barang tentu membuat geram rakyat, yang bertindak
sebagai konsumen
3)
Maraknya budaya gantung cangkul
Banyak dari masyarakat yang merasa profesi
sebagai buruh tani tak lagi bisa menyejahterahkan. Impor yang semakin gila,
keterbatasan lahan serta pudarnya ideologi sebagai petani adalah beberapa faktor
yang mempengaruhi proses gantung cangkul. Para petani yang “mempensiunkan diri”
tersebut lebih memilih untuk bermigrasi ke kota dan mencari pekerjaan lain yang
dianggap menyejahterahkan.
Ketiga faktor tersebut secara langsung ataupun tidak dapat
mempengaruhi proses matinya pertanian di Indonesia. Sekali lagi, globalisasi
dan perkembangan zaman telah merubah segalanya. Tugas dari para petani yang
tersisa mungkin hanyalah memperbesar setiap kemungkinan yang akan terjadi dalam
dunia pertanian sehingga orang orang seperti saya tak lagi memiliki sudut kemungkinan
untuk berkata bahwa pertanian Indonesia akan mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar