Laman

Senin, 07 Juli 2014

Romantisme Mario Teguh dan Kepahitan Itu

Ilustrasi cover roman Bumi Manusia

Ah, mengapa engkau masih juga mengutip Mario Teguh, sayangku? Aku tahu kau sedang butuh pegangan hidup. Namun, ah, mengapa harus Mario Teguh, sayang?

Sudikah kau mendengarku bercerita tentang Minke. Tahu kau Minke? Aku ragu kau mengenalnya. Minke hidup dalam khayalan Pram. Apa? Kau juga tak kenal Pram? Pramoedya Ananta Toer?

Mungkin agak panjang untuk diceritakan. Tapi untukmu, apapun akan kulakukan, sayangku.
***

Dulu, saat kau dan aku masih dalam alam ruh, Pram hidup. Sampai kita lahir ke dunia, ia masih hidup. Sayang, ia meninggalkan kita pada usia 81 tahun, 2006 silam, saat aku masih duduk di bangku sekolah menegah pertama.

Hidupnya pahit, sayang. Ia dipenjara oleh tiga zaman. Penjara Kolonial, Orde Lama dan Orde Baru pernah dienyamnya. Hampir separuh umurnya habis dipenjara. Orde Baru mengasingkannya ke pulau Buru, sebagai tahanan politik, tanpa proses pengadilan. Sebabnya? Ia dituduh PKI.

Ah, ia hanya sebagian dari orang yang dituduh. Banyak yang lebih sial. Orang-orang yang mati di pantai. Hanya karena dituduh. Tak ada bukti. Tak ada pengadilan.

Namun, mungkin baru Pram yang meninggalkan kenangan kepadaku. Karena ia menulis. Ia menulis tentang kepahitan. Minke adalah salah satu kepahitannya.

Minke lahir dari keluarga bangsawan rendah. Beruntungnya, meskipun keturunan bangsawan rendah, ia bersekolah. Dulu, hanya keturunan bangsawan yang bisa sekolah, sayang. Priyayi. Mereka yang bukan bangsawan, bukan priyayi, bukan totok, bukan indo, hanya bisa melakukan sembah. Melawan dengan darah.

Minke sadar ketidakadilan itu. Ia memberontak. Ia menjadi enggan menyembah bangsawan, kelasnya sendiri. Dan sebaliknya, ia tak mau disembah.

Sayang, nasib Minke sungguh memilukan. Pernikahannya yang pertama, dengan gadis Indo, putri cantik yang lahir dari rahim Nyai Ontosoroh berkat air mani Herman Mallema, dipisahkan oleh jahatnya hidup.

Annelies Mallema.

Kau tahu Nyai Ontosoroh? Ia dulunya adalah gadis pribumi yang dipaksa kawin dengan Kompeni Herman Mallema oleh ayahnya, agar sang ayah mendapatkan posisi sebagai juru tulis di pabrik gula. Kawin, sayangku. Tak ada surat. Sampai lahirlah Robert Mallema dan Annelies Mallema, istri Minke.

Setelah Mallema tak lagi menjabat di pabrik gula, Nyai dan Mallema membuka usaha sendiri. Bukan Mallema yang mengembangkan, tapi Nyai. Nyai berjuang keras, menahan rasa dendam kepada keadaan, menghidupi dirinya sendiri. Nyai perlahan menjadi berubah dari gadis desa, menjadi perempuan yang gigih. Sementara Mallema hanya bisa menghabiskan uang dan waktunya di rumah pelacuran, setelah anaknya dari Belanda datang menuntuk haknya.

Mallema yang linglung, sayang. Ia sudah punya keluarga di Belanda, namun ditelantarkannya. Anak dari istri pertamanya minta haknya. Mallema linglung, sampai akhirnya mati di rumah pelacuran.

Ah, sayangku. Kau tahu, seluruh usaha yang telah dibangun oleh Nyai Ontosoroh? Saat ini, usahanya terancam. Karena itu adalah hasil dari modal Mallema. Keturunan Mallema yang diakui adalah yang berasal dari istri pertamanya, dari Belanda. Nyai Ontosoroh tak pernah resmi menjadi istri Mallema. Hanya karena surat, sayangku. Dan, memang saat itu gadis pribumi dianggap tak pantas menikah dengan totok. Ia hanya sebatas Nyai. Bukan Nyonya.

Penjajah waktu itu benar-benar rakus, sayangku. Mereka tahu, biar bagaimanapun, Robert dan Annelies pasti kebagian hak waris atas kekayaan Herman Mallema. Mereka ingin menghancurkannya.

Annelies saat itu masih berumur 16 tahun. Pernikahan dengan Minke pun hanya dilakukan secara agama. Keluarga Mallema dari Belanda memaksa hak asuh atas Annelies dari Nyai Ontosoroh, ibu yang tidak diakui pemerintahan Hindia-Belanda.

Nyai tentu tidak diam. Dia adalah perempuan cerdas. Ia melawan.

Lewat pengadilan, perlawanan dilakukan. Tapi, bagaimana? Pribumi saat itu adalah kasta terendah di dataran Hindia-Belanda. Hakim pasti memihak keluarga Mallema yang sah.

Minke pun turut melawan. Ia menulis untuk melawan. Minke menulis di koran-koran berbahasa Belanda. Namun, siapa pribumi yang bisa membaca Belanda kalau bukan Priyayi? Priyayi, sayangku, adalah antek Belanda. Hanya kaki-tangan. Berniat melawan pun, mungkin sudah gentar.

Mereka kalah. Nyai dan Minke harus dipisahkan dengan bidadarinya, Annelies.

Annelies dibawa ke Belanda untuk diasuh oleh keluarganya yang sah. Alih-alih diasuh, Annelies yang saat itu tertekan secara mental karena dipaksa berpisah dengan suami dan ibu kandungnya, diterlantarkan.

Annelies akhirnya meninggal, sayangku. Di negeri yang jauh dari suaminya, dari ibu kandungnya.

“Kita kalah, Ma,” bisik Minke pada Nyai.

“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”i
***

Lantas kau masih menggantungkan kepercayaanmu kepada Mario Teguh, sayang? Munugkin, nanti akan kulanjutkan kisah tentang kepahitan itu.

Catatan:
i Kalimat terakhir dalam roman Bumi Manusia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar