20.30 waktu
Indonesia bagian barat. Badan saya masih terasa tidak enak. Satu pesan telah
nampak di layar telepon genggam. Saya membacanya, ajakan untuk datang ke rumah
teman. Saya tak membalas. Memang tak ada pulsa. Akhirnya saya ditelepon. Saya angkat,
minta jemput.
Seperti biasa orang-orang yang pernah menjadi satu kelas di
sekolah dasar dan bertemu lagi saat sudah kepala dua, obrolan tak jauh-jauh
dari buka bersama. Apalagi ini bulan puasa. Saya menyimak sambil sesekali
melihat layar televisi yang memutar film The
Raid.
Tema tentang buka bersama telah usai. Kami mencari-cari tema
baru. Saya bilang, ada lomba membuat esai tentang pemikirannya Nurcholish
Madjid (Cak Nur). Teman saya tak banyak yang menanggapi, hanya beberapa orang
dan lingkaran besar mulai terpecah.
“Lomba gimana?” tanya teman saya.
“Lomba bikin esai tentang pemikirannya Cak Nur. Sumbernya dari
buku-buku Cak Nur. Intinya sih tentang pemikiran Islam,” jawab saya
menyimpulkan. “Lu punya bukunya Cak Nur gak?”
“Gak punya. Ya, pemikirannya Cak Nur mah gak jauh sama Cak
Nun lah, sama-sama Jawa Timuran. Kalo lu mau tau lebih dalem mah, ikutin aja
ceramahnya setiap jam tiga pagi di TVRI. Dia yang suka ceramah pake peci ada
pin garudanya, kan?”
“Cak Nur udah meninggal, tong, masa masih ceramah di tv?”
tanya saya kaget. Setahu saya, Cak Nur memang sudak cukup lama meninggal.
“Ya mana gue tau. Itu sih ceramahnya ulangan, gak live.”
Saya mengiyakan ucapan teman saya. Lantaran itu disiarkan di TVRI, maklumlah kalau bukan siaran langsung. Sengaja saya tidak tidur
malam itu, untuk melihat sosok Cak Nur di TVRI. Dan benar saja, sosok yang
ceramah di TVRI pagi itu adalah seorang dengan peci ber-pin garuda, keterangan
namanya; Cak Nur (Muhammad Nurhadi).
|
Cak Nur (Muhammad Nurhadi) |
Sadar, saya ingat kalau harus sahur.