Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta
tengah merindukan terbitan-terbitan mahasiswa, dari yang sifatnya informasi,
persuasi, atau bahkan propaganda. Hal tersebut saya simpulkan dari setidaknya
beberapa tongkrongan yang saya ikuti.
IISIP (dulunya Sekolah Tinggi Publistik) –
yang terkenal dengan sebutan “Kampus Jurnalistik” – memang minim sekali
terbitan mahasiswa. Kampus yang selalu memiliki jumlah pendaftaran terbanyak
pada jurusan jurnalistik ini juga tidak memiliki Lembaga Pers Mahasiswa yang
menjalankan fungsi anjing penjaga (watch dog function).
Pertanyaan mengenai mengapa tidak ada LPM yang
menjalankan fungsi anjing penjaga, rasanya lebih tepat dibebankan pada pundak
Himpunan Mahasiswa Jurnalistik.
Himajur sebenarnya punya sebuah terbitan
bernama Eleven (terbitan tertua di
IISIP, klaim redaksinya). Saya mendapatkannya beberapa hari lalu. Namun belum lama juga saya
menemukan sebuah zine bernama Abominasi. Oleh karena itu, dari pada menjawab pertanyaan tadi, di sini saya ingin menulis review dengan membandingkan keduanya, membandingkan antara yang legal
dengan yang ilegal. Ada beberapa segi yang ingin saya bandingkan: struktur
redaksi, teknik penulisan, layout, dan harga.
Yang Legal dan Yang Ilegal
Abominasi adalah zine yang dicetak secara
mandiri, independen, dan ilegal, oleh seorang mahasiswa jurnalistik angkatan
2012, Bima. Mandiri, maksud saya, adalah konten dan proses produksinya digarap
sendiri. Independen artinya Bima berada di wilayah yang bebas nilai (tidak
membawa kepentingan dari pihak tertentu). Ilegal berarti tidak memiliki izin
resmi dari pihak kampus.
Sekitar sebulan lalu, saya menemukan
Abominasi. Bima menerbitkan zine ini benar-benar apa adanya – kalau tidak boleh
dibilang sebisanya. Bima menyebarkannya dengan semangat berbagi informasi dari
apa yang ia sukai: metal. Saya sempat mereviewnya. Apa yang telah Bima lakukan menyiratkan pesan
bahwa menerbitkan karya adalah hal yang mudah.
Lalu kemarin saya menemukan Eleven (edisi Oktober 2013),
terbitan legal dari Himajur. Seperti yang sudah saya tulis tadi, legal dalam
pemahaman banyak siswa berarti memiliki izin dari kampus, paling tidak
organisasinya. Entah siapa yang membentuk pemahaman seperti itu.
Eleven hadir dengan semangat “mendidik para
anggota Himajur untuk menjadi wartawan andal,” begitu tulis redaksinya. Media
ini, lanjutnya, “diperuntukan bagi para calon jurnalis muda untuk berlatih
menulis berita dengan baik.”
Pembuatan media,
secara teknis jelas terkait dengan, setidaknya, dua mata kuliah di jurusan
jurnalistik: Bahasa Indonesia Jurnalistik dan Editing dan Produksi Media Cetak.
BIJ penting dalam hal konten, dan EPMC perlu paling tidak dalam segi “tampilan”.
Sebagai media yang
ingin melahirkan “wartawan andal” (apapun maknanya istilah ini) – seperti yang
diklaim redaksinya – Eleven tak mempraktikkan dengan baik ke dua mata kuliah
yang saya sebut tadi.
Jajaran Redaksi Tak Berarti Bikin “Rapih”
Berbeda dengan Eleven,
Abominasi tak memiliki struktur yang jelas dan rinci. Eleven Nampak lebih professional
dengan jajaran dredaksi dari Pemimpin Umum sampai Layouter. Sedangkan dalam
Abominasi, seluruh proses penggarapannya – dari penentuan konten, penulisan,
sampai urusan layout – dikerjakan oleh Bima seorang. Tetapi jajaran redaksi
rinci yang dimiliki Eleven tak serta merta membuat Eleven lebih rapih dibanding
Abominasi.
Salah satu contohnya,
dari segi penulisan. Eleven secara terang benderang tidak menerapkan dengan
baik apa yang telah dipelajari di kelas BIJ. Entah sengaja atau tidak, saya
melihat banyak kalimat yang tak logis, kata mubazir, dan penulisan judul yang
salah. Hal serupa tentu saja dapat juga ditemukan di Abominasi yang tidak
memiliki editor khusus.
Selain itu, layout
Eleven nampak lebih parah dari pada Abominasi. Tata letak Eleven sangat tidak
teratur. Itu dapat tergambar dari banyaknya spot kosong yang terbuang sia-sia sehingga
memakan banyak halaman, serta penggunaan ukuran huruf dan line spacing yang
tidak konsisten. Itu sangat tidak enak dilihat. Di persoalan ini, saya
malah melihat layout Abominasi yang dibikin Bima secara manual (dengan
mengeprint-tempel-fotocopy) malah sedikit lebih baik.
Soal harga adalah yang
paling menarik. Harga Eleven dipatok Himajur 5000 rupiah. Hal tersebut,
mengutip teman saya, “harga yang tak masuk akal, mengingat daya beli anak-anak
IISIP itu susah.” Sedangkan Abominasi,
disebarkan secara gratis seperti udara. [1]
Sebenarnya ada hal lain yang layak dibandingkan: cover dan gambar (citra media), rubrikasi (apa yang ingin dikatakan), dan isi (bicara soal apa). Soal itu, barangkali teman saya yang lain saja yang mengulasnya.
***
[1] Bima sempat mengatakan perihal proses produksinya pada saya. Kalau tidak keliru, ia mengeluarkan uang 125 ribu untuk menghasilkan 35 eksemplar Abominasi Zine.