Ilustrasi oleh Ade Pasker
Aku memutuskan untuk berkunjung ke kampung halaman, tepatnya
di desa Asih, perbatasan antara tengah dan selatan pulau ini. Sudah lama aku
tak pulang. Ternyata, sudah banyak perubahan di sekitarnya. Jalanan sudah
beraspal, rumah sudah memakai bata, dan pasar menjadi tempat pemuda berwisata. Namun
ada satu yang masih tersisa, orang-orang yang tersenyum setiap berpapasan, pun
nanti di belakang entah bersikap apa.
Itu adalah kampung halamanku. Betapapun rasa tak ingin
tinggal di tempat semacam itu, namun aku tetap akan gerendengan jika ada yang
menghinanya.
Ketika baru tiba ke rumah Bapak, aku diceritakan macam-macam
tentang kehidupan di sini. Adikku tak mau kalah, langsung menyambar menceritakkan
seputaran gosip desa, tentang alam yang menolak cinta. Ah, terpaksa aku
mendengarnya.
***
Baru setahun yang lalu Wulan tiada. Entah pergi atau
kembali, yang jelas Wulan sudah tak lagi di Bumi. Saprol, kekasihnya yang
paling setia dan paling dicintainya, belum bisa melupakan ketiadaan Wulan dalam
hidupnya. Ia menjadi murung, seperti kebanyakan orang yang ditinggal mati
permaisuri. Memang suatu hal yang biasa.
Sewaktu hidup, Wulan adalah seorang kembang desa anak
pengusaha. Setiap lewat, mata para lelaki selalu menatap padanya. Aromanya wangi.
Kumbang pun tak sanggup untuk menghindarinya. Tak jarang ia bergonta-ganti
pujaan hati. Dari tua sampai muda, pernah ia cicipi. Tapi, tak pernah sekalipun
ia menjual diri pada lelaki, sekalipun dibayar sengan cinta. Pendiriannya yang
kuat, terlihat dari mata bulatnya yang dipayungi bulu mata lentik. Sungguh
menawan untuk dilihat.
Entah apa yang membuat Wulan menjatuhkan pilihan yang pasti
kepada Saprol. Padahal, Saprol hanyalah seorang pemuda biasa. Tampan tidak,
kaya pun tidak. Banyak pemuda yang lebih kaya dan tampan di desanya. Seorang Saprol
jelas tak ada apa-apanya. Namun Wulan tetap mencintainya.
Pemuda yang lain jelas merasa risih melihat Wulan sangat
dekat dengan Saprol. Tak jarang, Saprol dianggap menggunakan pelet untuk
menarik perhatian Wulan. Hasut-menghasut memang sudah jadi kebiasan warga desa,
namun tak ada yang pernah berani menyerang di muka. Hasutan hanya lewat
belakang. Diam-diam.
Wulan tahu, banyak orang yag tak suka hubungannya dengan
Saprol, bahkan keluarganya pun melarang. Tapi ia tak peduli. Namanya cinta, tak
ada yang bisa merubah. Wulan tetap dekat dengan Saprol. Tak diam-diam seperti
hasutan, mereka selalu bergandengan di setiap kesempatan. Mesra.
Namun seperti warga desa, alam pun seakan tak pernah
merestui hubungan mereka. Enam bulan mereka bersama, dalam bisik-bisik warga
yang tak ada hentinya, perlahan-lahan fisik Wulan semakin menua. Wajah
cantiknya menjadi keriput. Aromanya tak lagi mengundang kumbang yang mulai
bosan. Aneh. Yang tersisa hanya mata yang bulat dan lentik bulunya, yang masih
memegang pendiriannya.
Saprol yang biasa tak mengerti apa-apa. Ia hanya mengerti
bagaimana cara mencintai. Ia tetap mendampingi Wulan di rumahnya, di hadapan
orang tua yang dulu merendahkannya. Saprol tak bisa berbuat apa-apa. Ia tak
punya ilmu medis yang dapat menyembuhkan luka. Yang dimilikinnya hanya cinta
dan doa.
Tiba sampai malam yang pengap, Wulan meminta Saprol untuk
melepaskannya. Saprol tak bergeming. Ia tetap berusaha dengan keahliannya,
cinta dan doa. Hingga napas yang berat memisahkan Wulan dengan tubuhnya. Saprol
menangis, namun tak keluar air mata.
Dalam prosesi pemakaman yang dhadiahi hujan lebat, jenazah
Wulan menyatu dengan tanah, yang katanya adalah hakikat dari manusia. Saprol
terdiam melihat kekasihnya diuruk tanah. Tak ada yang bisa dilakukannya, selain
memberi cinta dan doa.
Sampai hari ini, setelah setahun kematian Wulan, Saprol
tetap menjaga cinta dan doanya.
***
Aku bosan mendengar cerita adikku, yang umurnya belum genap
seperlima abad. Paling-paling banyak bumbu yang bertabur untuk membuat
ceritanya semakin ngawur. Aku putuskan untuk keliling desa, mencari udara.
Jauh dekat sungai yang mengalir, aku melihat seorang pria,
berpenampilan serba biasa, sedang menaburkan sebotol air dan bunga di makam
yang terawat indah. Aku melihat cinta dan doa dalam kesendiriannya. Namun, pria
itu tetap saja terlihat biasa.