Robert menuangkan kopi hitam legendaris kedalam
segelas bening produksi pabrikan tak ternama, membasuhnya dengan air panas yang
mendidih dan mengaduknya dengan sendok plastik bekas restoran lokal yang
mencoba menghedoniskan diri dengan strategi dagang pecundang. Terciumlah sebuah
aroma robusta khas yang melekat di antara kelima panca indra. Murah, sederhana
namun memikat selera. Ia menyulutkan sebuah rokok putih khas gurun pasir dengan
pematik khas rakyat yang kini menjadi komoditi curian ringan ke bibirnya yang
selalu melontarkan sumpah serapah ke setiap orang yang diidolakannya. Dengan
santai ia memutar lagu lagu dari mini album Starlit Carousel milik solois
berbakat kota pelajar, Frau. Dentingan hangat piano menemani senja yang
sepertinya menertawai hidupnya yang berantakan.
Lagu demi lagu terlewati, mulai dari 'Sepasang Kekasih Yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa', 'Mesin Penenun Hujan', 'Rat and Cat', merasa bosan dengan keteduhan. Ia beranjak dari kursi hangatnya untuk membuat sebuah pelarian dengan jalan yang standar (menurutnya), kembali membuat sebuah “humor lokal” sekedar untuk meriangkan hatinya yang sepi. Cara ini terbukti ampuh untuk meredakan absurd hidupnya. Persetan kata orang tentang menggunjing, menjelek–jelekan atau apalah. Intinya semua itu hanya kiasan
Selesai membuat humor lokal, Robert kemudian beranjak
ketempat tidurnya yang sempit dan pendek. Ia mulai membayangkan indahnya bila
memiliki apa yang ia inginkan. Namun apa daya, ia adalah seorang pecundang yang
selalu kalah. Setiap hari ia hanya bisa menggonggong tanpa berbuat apapun.
Hidupnya terkesan menyebalkan dan seperti telah tergambarkan oleh orang lain.
Lekaslah ia memejamkan mata seraya berharap ada setitik cahaya untuk masa
depannya.