Kemarin, saya mendapatkan mandat untuk memesan makanan
berbuka puasa bersama anak yatim. Kami sudah menyepakati membeli makanan di
warung makan ala Amerika, yang kerap menawarkan hasrat nikmat tiada terkira. Saya
datang ketika orang muslim sedang melaksanakan ibadah solat tarawih. Suasana di
warung makan itu terlihat cukup ramai, seramai pasar tradisional di pagi hari.
Banyak wajah-wajah asing yang saya temui. Ada sebuah
keluarga kecil tengah menyantap ayam beserta kentang goreng dengan lahapnya,
seperti kaum lapar di Ethopia yang baru menemukan kudapan setelah tiga hari tak
makan. Ada perempuan paruh baya yang memakai perhiasan mulai dari ujung rambut
hingga ujung kaki. Mungkin ia ingin dibilang orang kaya. Mungkin agar semua
orang memperhatikan, memperhatikan gerak geriknya yang nampak seperti remaja
tanggung. Padahal, kulitnya telah mengedur seperti kerupuk yang terkena basah. Ada
perempuan bercadar yang misterius di pojokan kaca bersama suaminya yang Arab. Ini
unik, saya kira orang keturunan Arab benci akan segala sesuatu berbau Amerika. Pasalnya,
Amerika sendiri kerap menjadikan negara-negara Arab sebagai musuh semenjak
kejadian 9/11. Ada anak kecil yang telah berkawan akrab dengan gadget. Ia tak
memperdulikan sekitarnya. Ia sibuk tertawa, marah dan kadang berbicara dengan
gadgetnya. Ada pegawai yang terlihat menyulap wajah lesunya dengan topeng
senyum yang menawan demi menarik perhatian pengunjung agar memesan ayam lebih
dari cukup. Agar sang pegawai bisa cepat naik pangkat. Agar ia memiliki kredit
yang baik dimata atasan. Dan banyak sekali wajah-wajah asing di warung makan
itu.
Tibalah waktu saya memesan makanan. Saya bertemu dengan
supervisor toko. Ia terlihat malas menemui saya. Hal itu terlihat dari
pandangan matanya yang menyebalkan. Ingin rasanya saya mencongkel kedua matanya
untuk kemudian saya berikan kepada anjing gembala yang kelaparan di pertigaan
jalan. Lantas saya memesan secara ekslusif kepadanya. Saya menyebutkan pesanan,
ia mencatatnya. Sungguh tiki taka yang nyaman diantara kita, walaupun ia masih
menyebalkan sejak datang menghampiri saya.
Ada keanehan dalam pesanan saya. Di billboard warung, harga
pesanan saya satuannya berkisar Rp 25.525.- belum termasuk PPN 10%. Saya sendiri
kerap mempertanyakan untuk apa PPN tersebut, apakah untuk membeli senjata
Amerika dalam rangka menginvasi jazirah Arab. Atau uang tersebut disetorkan ke
pemerintah sebagai kas pemasukan negara? Entahlah. Jika harga pesanan sayaRp.
25.525.- ditambah PPN 10% seharusnya angka yang saya dapatkan sekitar Rp. 28.000/pcs.
Namun sang supervisor menembak dengan harga Rp. 30.000.- per makanan, keparat.
Berikut adalah
percakapan saya dengan sang supervisor
Saya: Saya pesan paket A sebanyak 50 buah, untuk hari sabtu
(12/7), pesanan akan saya ambil jam empat sore.
Supervisor: Oke, harga per buahnya Rp.30.000
Saya: (melihat ke mukanya yang membosankan) Rp 30.000 ya
mas...... okelah pikir saya.
Supervisor: Oh iya ini kena Charge 12 ribu sebagai ongkos
packing
Saya: ongkos packing?
Supervisor: Iya, packing. Dan juga untuk minumannya, kita
ganti pakai kalengan soalnya takut tumpah nanti.
Dari percakapan diatas, supervisor beserta tokonya yang
keparat telah mengambil untung dari harga awal menurut perkiraan saya. Mereka mengambil
dua ribu rupiah. Kalikan 50 buah, pesanan saya. Berapa totalnya? Hitung saja
dengan sempoa butut kalian. Oh, itu baru dari saya, belum dari customer lain. Berapa
kali mereka mendzolimi kita? Padahal tanpa kita, warung makan mereka bukanlah
apa-apa. Mengenai charge 12 ribu, warung makan tersebut jelas takut untuk
miskin. Selain menjual ayam, mereka juga menjual plastik dan karton kepada
pelanggannya. Semua ada harganya. Semua ada maknanya. Ah Amerika, engkau
menciptakan musuh dimanapun kau mau. Ngentot !!!