Marry melompat dengan tergesa-gesa
ke pematang sawah. Ia lantas lari sekuat tenaganya. Sesuatu yang
buruk nampak mengintainya dari pekatnya malam. Ia sungguh tak tahu
harus bagaimana. Yang ia tahu adalah bagaimana ia bisa secepatnya
menemukan terang dalam pelariannya.
Ia masih terus berlari dalam
keresahannya. Gundukan tanah sawah yang licin tak membuatnya
mengendurkan kecepatannya. Kegetiran masih mengintainya, terus
mengintainya hinggaia berteriak dengan lantang. Tak ada yang
mendengar teriakannya. Bahkan, tanaman tebu disampingnya tak
menghiraukan teriakannya.
Marry kini tengah dalam kegelisahan
tingkat tinggi. Ia cemas dan bersandar diantara orang-orangan sawah.
Seketika ia mendengar suara berisik diantara rimbunan tebu. Ia lantas
menghilangkan kegetirannya dan kembali berlari.
Keresahannya semakin menjadi-jadi.
Ia hilang kendali dalam pelariannya. Ia menginjak sebuah batu tajam.
Batu itu membuatnya berdarah seketika. Tapi marry tak berhenti, ia
tetap berlari. Darah segar terus mengucur dari kaki cantiknya itu.
Pagi datang menjelang. Marry
melangkah gontai diantara pematang sawah. Darahnya masih belum uga
surut. Ia sudah agak stabil. Ia meringis kesakitan akan luka di
kakinya. Ia terus memegagi kaki jenjangnya itu, kaki itu selalu
mejadi gunjingan para lelaki yang melihatnya.
Tanpa ia sadari, sesosok pria
bertubuh besar telah berada di belakangnya. Pria itu membawa sabit
tajam. Ia langsung menebas leher Marry dengan dinginnya. Pria besar
tersebut terus menebas Marry, kalii ni lengannya yang penuh rajah
ditebas. Marry sekarat, ia hampir mati, seorangpun tak ada yang
mendengar teriakan lirihnya.
Ayam jantan berkokok kencang
menandakan pagi telah benar-benar datang. Suara ayam tersebut
beriringan dengan jeritan Marry. Pria besar itu nampak asik
memotong-motong tubuh Marry dengan dinginnya. Tapi Marry masih hidup,
mungkin sebentar lagi mati.