Surat terakhir dalam Al-Quran ini adalah surat tentang manusia. Saya tak tahu, bagaimana surat ini ditempatkan di urutan 114 dalam kitab suci umat Islam. Yang pasti, An-Nas berarti manusia.
Surat pendek ini sudah tentu menjadi santapan mudah hafalan taman pengajian anak-anak (TPA) di kampung saya sewaktu kecil dulu. Mungkin surat inilah, salah satu dari ratusan ayat di Al-Quran yang pertama saya hafal.
Mari, kita membaca manusia;
Surat pendek ini sudah tentu menjadi santapan mudah hafalan taman pengajian anak-anak (TPA) di kampung saya sewaktu kecil dulu. Mungkin surat inilah, salah satu dari ratusan ayat di Al-Quran yang pertama saya hafal.
Mari, kita membaca manusia;
Surat An-Nas (Wikipedia) |
(1) Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
(2) Raja manusia.
(3) Sembahan manusia.
(4) Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi,
(5) yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
(6) Dari (golongan) jin dan manusia.
Ah, manusia. Kau adalah makhluk penyembah. Dadamu begitu lemah. Tanpa bantuanNya, kau takkan mampu menghadapi bisikan.
Ada sepotong ayat yang saya ingin tampilkan di sini, tentang manusia tentunya;
Duh, dasar manusia. Kau yang ingin derajatmu tetap rendah. Jadi jangan salahkan yang lain kalau kau tetap rendah. Memohonlah padaNya, pada pemilik semesta yang menjadikanmu ada. Kau ada, padahal tiada. Kau tiada, sekaligus ada. Duh, manusia.
Baiklah. Rasanya bicara tentang manusia adalah bicara tentang kekosongan. Karena manusia pada dasarnya tak pernah mengenal dirinya. padahal sebuat atsar yang menegaskan;
Bagaimana kita mengenal diri kita sendiri. Saya ingat sebuah novel –entah dari Cinta Tak Pernah Tepat Waktu atau Petir, saya lupa- menggamblangkan bahwa saya, kamu, dan mereka, tak pernah mengenal diri kita. Kita selalu sibuk mengurusi segala sesuatu di luar ke”aku”an kita, sehingga kemauan hakiki yang terdapat dalam diri pun tak dapat kita ketahui.
Siapa “aku”? Manusia? Lantas seperti apa manusia? Seperti apa kemauan hakikinya? Bagaimana kita mengenal Tuhan kalau dengan “aku” yang ada dalam diri sendiri pun tak saling kenal? Mungkinkah aku adalah aku yang telanjang?
Saya tidak sedang ingin menjawab pertanyaan, melainkan hanya ingin membaca. Membaca manusia, membaca surat ke 114 itu.
Astaga, saya lupa membaca bismillah.
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
(2) Raja manusia.
(3) Sembahan manusia.
(4) Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi,
(5) yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
(6) Dari (golongan) jin dan manusia.
Ah, manusia. Kau adalah makhluk penyembah. Dadamu begitu lemah. Tanpa bantuanNya, kau takkan mampu menghadapi bisikan.
Ada sepotong ayat yang saya ingin tampilkan di sini, tentang manusia tentunya;
“Dan kalau Kami menghendaki sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah.............”
Al-A’raaf, ayat 176
Duh, dasar manusia. Kau yang ingin derajatmu tetap rendah. Jadi jangan salahkan yang lain kalau kau tetap rendah. Memohonlah padaNya, pada pemilik semesta yang menjadikanmu ada. Kau ada, padahal tiada. Kau tiada, sekaligus ada. Duh, manusia.
Baiklah. Rasanya bicara tentang manusia adalah bicara tentang kekosongan. Karena manusia pada dasarnya tak pernah mengenal dirinya. padahal sebuat atsar yang menegaskan;
“Barang siapa mengenal dirinya, niscaya ia mengenal Tuhan-nya.”
Bagaimana kita mengenal diri kita sendiri. Saya ingat sebuah novel –entah dari Cinta Tak Pernah Tepat Waktu atau Petir, saya lupa- menggamblangkan bahwa saya, kamu, dan mereka, tak pernah mengenal diri kita. Kita selalu sibuk mengurusi segala sesuatu di luar ke”aku”an kita, sehingga kemauan hakiki yang terdapat dalam diri pun tak dapat kita ketahui.
Siapa “aku”? Manusia? Lantas seperti apa manusia? Seperti apa kemauan hakikinya? Bagaimana kita mengenal Tuhan kalau dengan “aku” yang ada dalam diri sendiri pun tak saling kenal? Mungkinkah aku adalah aku yang telanjang?
Saya tidak sedang ingin menjawab pertanyaan, melainkan hanya ingin membaca. Membaca manusia, membaca surat ke 114 itu.
Astaga, saya lupa membaca bismillah.
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar