“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Al-Hujurat ayat 13
Kita adalah manusia yang hidup di zaman yang bising, di mana kesunyian adalah suara yang paling menyenangkan. Suara yang lahir dari tidak adanya suara. Namum kita memilih untuk bising. Mengomentari segala hal, sekaligus menutup diri dari segala komentar.
Terlalu banyak suara yang masuk.
Terlalu banyak suara yang masuk.
Suara-suara itu tak mau juga berhenti. Terus menyergap. Tak peduli apakah suara itu bermakna atau tidak. Namun yang pasti, suara-suara itu hadir dalam setiap ketenangan pagi. Dan, mau tak mau, saya memberi makna pada suara itu.
Pagi ini adalah hari puasa ke empat. Nenek saya baru saja pulang ke kampungnya semalam. Hidangan sahur di rumah, yang seharunya cukup untuk empat orang, terpaksa kami habiskan bertiga –saya, emak dan bapak. Tak ada suara. Hanya televisi yang menayangkan bola, dan kipas angin yang selalu berputar. Namun bermakna. Menenangkan.
Kesunyian itu datang lagi, namun perlahan pergi kembali.
Saya tertidur pulas semalam, sehingga baru bisa menulis setelah sahur. Ada pesan masuk di kotak surat elektronik saya, yang menyampaikan bahwa tulisan bagian akhir tentang kerja mahahasiswa telah selesai. Saya membaca, sesekali tersenyum pahit. Kerja mahasiswa tak akan pernah selesai.
Suara-suara itu datang kembali. Jeritan yang tak henti kesakitan, ledakan ratusan toko di pasar-pasar, tangisan perempuan setengah terbakar di dalam tokonya.
Suara ketakutan. Suara ketakuta yang disisipkan melalui surat elektronik yang datang.
Pagi ini saya sahur terlalu banyak. Otak saya sudah lama tersadar dari gelombang alfa. Perut saya kembung akibat segelas teh hangat yang ditutup dengan sebotol air putih dari kulkas. Jeritan itu masih terdengar; Suara perempuan yang kesakitan.
Saya putuskan membaca kiriman surat elektronik yang masuk tadi malam dengan perlahan. Satu kalimat terakhir di suat tersebut yang ingin saya sampaikan; Meyakinkan orang untuk tidak memilih fasis sebagai presiden nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar