Kepada seseorang yang selalu menyimpan rahasia.
Apa
kabar? Semoga seperti yang kau inginkan. Sejujurnya, aku merasa
pertanyaanku itu penting. Kau pasti tahu, saat ini kita tak seperti
minggu-minggu lalu. Kita semakin jarang bertemu. Maka apakah pertanyaan
yang paling wajar mengenai kerinduan selain kabar? Mungkin kau akan
bilang itu tak penting-penting amat. Tapi itu terserah.
Hmm...
Terakhir
kali aku tahu saat itu kau memegang perut, dan berkali-kali mengeluhkan
sembilu. Sebenarnya aku ingin sekali berbuat sesuatu, setidaknya
berbicara. Hanya saja waktu itu aku bingung, aku tak paham. Aku malah
bertanya tentang bagaimana mengatasi kesakitan yang kau rasakan. Ah, aku
benar-benar tak mengerti sama sekali soal itu. Maaf, mungkin bukan hal
yang kau inginkan.
Itu
saja yang terakhir kutahu perihal kesehatanmu. Mungkin sebenarnya sejak
awal kau memang tak hendak menceritakan apapun padaku, tak inginkan aku
mengetahui apapun riwayatmu. Tapi aku tak peduli. Aku tak peduli jika
aku sama sekali tak mengerti tentangmu. Aku sadar: cinta -- seperti juga
hidup -- ditakdirkan untuk tak jelas, samar-samar, dan absurd. Ini
mungkin sama seperti puisi yang pernah kau tulis yang entah untuk siapa,
"cukup kau tahu, tak perlu dimengerti". Karenanya, aku rasa semuanya tak perlu dimaknai.
Tapi
aku merasa perlu untuk menulis surat ini. Mungkin karena sudah hampir
seminggu aku tak benar-benar hidup dalam duniamu. Aku hanya mengintaimu
dari jauh: seperti seseorang yang tengah mengamati Burung terbang tinggi
di langit terbuka. Aku tak benar-benar tahu Burung apa itu. Kadang aku
anggap itu memang Merpati, tapi ia terlalu tinggi. Maka aku pun selalu
ragu.
Barangkali
keraguan adalah esensi dari semuanya. Aku menerimanya serupa menerima
ketidakjelasan yang mungkin mirip dengan kesementaraan yang kau pernah
ceritakan: ia ada dan selalu menyimpan rahasia. Ia ada, tapi tak
selamanya. Itu mungkin yang sebenarnya abadi, yang kerap menyimpan
misteri.
Surat
ini sewujud rindu. Kau boleh meragukannya, mencurigakannya, bahkan
menertawakannya. Kau pun boleh -- kalau kau mau -- melibatkan seorang
siapapun yang pernah kau sebut. Tapi lagi-lagi aku tak akan peduli.
Sebab mencintaimu bukanlah sebuah kompetisi. Aku tak akan merasa menang
ataupun kalah.
Jika
sampai sekarang kau masih enggan terlibat dialog denganku, semoga kau
baca surat ini. Memang, aku tak berharap banyak. Tapi setidaknya inilah
caraku merawat sesuatu yang pernah kuceritakan padamu, sesuatu yang
selalu erat dengan kehilangan, dengan ketakutan.
Apa kabarmu, Kekasih?
:(
BalasHapusmakanya yu jangan kebanyakan baca tweet i
BalasHapusRegrads
J.A.Verdyantorro
Wah...
BalasHapusLembekkkkkk
BalasHapusgalau
BalasHapus