Laman

Rabu, 17 Oktober 2012

Surat untuk Seorang Perempuan yang Tak Terduga (Part I)

Kepada seseorang yang selalu menyimpan rahasia.

Apa kabar? Semoga seperti yang kau inginkan. Sejujurnya, aku merasa pertanyaanku itu penting. Kau pasti tahu, saat ini kita tak seperti minggu-minggu lalu. Kita semakin jarang bertemu. Maka apakah pertanyaan yang paling wajar mengenai kerinduan selain kabar? Mungkin kau akan bilang itu tak penting-penting amat. Tapi itu terserah.

Hmm...

Terakhir kali aku tahu saat itu kau memegang perut, dan berkali-kali mengeluhkan sembilu. Sebenarnya aku ingin sekali berbuat sesuatu, setidaknya berbicara. Hanya saja waktu itu aku bingung, aku tak paham. Aku malah bertanya tentang bagaimana mengatasi kesakitan yang kau rasakan. Ah, aku benar-benar tak mengerti sama sekali soal itu. Maaf, mungkin bukan hal yang kau inginkan.

Itu saja yang terakhir kutahu perihal kesehatanmu. Mungkin sebenarnya sejak awal kau memang tak hendak menceritakan apapun padaku, tak inginkan aku mengetahui apapun riwayatmu. Tapi aku tak peduli. Aku tak peduli jika aku sama sekali tak mengerti tentangmu. Aku sadar: cinta -- seperti juga hidup -- ditakdirkan untuk tak jelas, samar-samar, dan absurd. Ini mungkin sama seperti puisi yang pernah kau tulis yang entah untuk siapa, "cukup kau tahu, tak perlu dimengerti". Karenanya, aku rasa semuanya tak perlu dimaknai.

Tapi aku merasa perlu untuk menulis surat ini. Mungkin karena sudah hampir seminggu aku tak benar-benar hidup dalam duniamu. Aku hanya mengintaimu dari jauh: seperti seseorang yang tengah mengamati Burung terbang tinggi di langit terbuka. Aku tak benar-benar tahu Burung apa itu. Kadang aku anggap itu memang Merpati, tapi ia terlalu tinggi. Maka aku pun selalu ragu.

Barangkali keraguan adalah esensi dari semuanya. Aku menerimanya serupa menerima ketidakjelasan yang mungkin mirip dengan kesementaraan yang kau pernah ceritakan: ia ada dan selalu menyimpan rahasia. Ia ada, tapi tak selamanya. Itu mungkin yang sebenarnya abadi, yang kerap menyimpan misteri.

Surat ini sewujud rindu. Kau boleh meragukannya, mencurigakannya, bahkan menertawakannya. Kau pun boleh -- kalau kau mau -- melibatkan seorang siapapun yang pernah kau sebut. Tapi lagi-lagi aku tak akan peduli. Sebab mencintaimu bukanlah sebuah kompetisi. Aku tak akan merasa menang ataupun kalah.

Jika sampai sekarang kau masih enggan terlibat dialog denganku, semoga kau baca surat ini. Memang, aku tak berharap banyak. Tapi setidaknya inilah caraku merawat sesuatu yang pernah kuceritakan padamu, sesuatu yang selalu erat dengan kehilangan, dengan ketakutan.

Apa kabarmu, Kekasih?

5 komentar: