Konsumerisme berlebih adalah sebuah kewajaran dalam masyarakat
kelas perkerja, seperti di Jakarta. Kehadiran antek-antek kapitalis –baik yang
beskala besar, maupun kecil- tak dapat dihindarkan dari kehidupan yang
demokratis seperti saat ini. Masyarakat tak lagi memiliki waktu untuk
memikirkan tentang kapitalisme yang sedang meenggurita di lingkungan mereka.
Karena mereka terlalu sibuk untuk bekerja dan telah menjadi bagian dari sistem
yang besar diamana mereka tak mampu melawannya. Dan salah satu cara untuk
menghabiskan uang yang didapat dari bekerja adalah berbelanja, menjadi konsumen.
Awalnya mereka berbelanja ke pasar tradisional. Di pasar
tradisional –kalau Anda masih ingat- tak hanya menjajakan sayuran, ikan berbau
amis dan makanan orang pinggiran, tapi juga pakaian, fashion masyarakat pinggiran. Tak mau disamakan dengan fashion masyarakat pinggiran, para
pekerja yang lebih menengah pergi ke supermarket yang notabene-nya lebih
berkelas. Pun tak ada perbedaan dari barang yang dijajakan, masyarakat yang
memiliki penghasilan lebih dari orang pinggiran lebih memilih berpergian ke
supermarket daripada ke pasar tradisional, yang terkenal becek dan bau amis,
untuk mendapatkan status sosial yang lebih terpandang.
Barang-barang yang ditawarkan –baik di pasar tradisional
maupun supermarket- menjadi seragam, tak ada yang beda. Mainstream, begitulah istilah populernya. Hingga lahirlah gerakan do it yourself (DIY) yang lahir dari
aktivitas intelektual yang sadar bahwa segala hal yang mainstream hanya menguntungkan pengusasa kapitalis.
Gambar: lifehacker.com
DIY adalah konsep madiri dan swadaya –yang pada zaman Orde
Lama dikenal dengan berdikari- yang tidak menggantungkan diri kepada pihak lain.
Masyarakat yang memakai konsep DIY untuk sekedar memenuhi kebutuhannya sendiri
berkembang untuk memenuhi kebutuhan orang lain pula. Mereka menciptakan pasar
dari barang-barang yang mereka buat. Salah satu contoh adalah fenomena
merabaknya distro-distro dari konsep DIY tersebut, yang setelah menjadi besar
adalah bagian dari sistem kapitalis itu sendiri –walaupun dalam skala yang
lebih kecil. Konsep hanyalah tinggal konsep.
Sadar atau tidak, kita telah menjadi bagian dari
kapitalisme, yang akan selalu menjadi konsumen. Dan, kesadaran pula yang bisa
menyelamatkan kita, setidaknya dari pengeluaran yang berlebihan –yang semakin
memberatkan kantong-kantong penguasa kapitalis.
Tulisan lo sama tulisan Heri ini mengulang apa yang pernah diperdebatkan jakartabeat yah.
BalasHapusHmm... Kalo kata Fathun Karib (di tulisan terakhir dalam perdebatan itu), mainstream, indie, dan DIY hanya beda di proses produksi.
DIY setau gua awalnya dari kultur Punk, yang menolak kapitalisme (budaya mainstream, budaya pop): oleh karenanya peran uang (yang masih ada dalam indie, "kapitalis kecil") harus disingkirkan dengan cara barter.
Dalam musik, misalnya, mereka yang mempraktekkan DIY lebih suka bertuker karya daripada menjual-belikannya. (mungkin gua keliru, monggo dikoreksi)
Selain itu, Punk (anarkis) yang juga menolak konsep kepemilikan, juga melawan dengan cara anti-hak cipta. Hak cipta adalah pencurian. Anti-copyright. Copyleft.
Itu setau gue sih. Markit diskusikan rame-rame. Hehehe...
Ogah ah.
BalasHapus