Laman

Kamis, 18 Oktober 2012

Sadar, Tak Perlu Menyelamatkan



Konsumerisme berlebih adalah sebuah kewajaran dalam masyarakat kelas perkerja, seperti di Jakarta. Kehadiran antek-antek kapitalis –baik yang beskala besar, maupun kecil- tak dapat dihindarkan dari kehidupan yang demokratis seperti saat ini. Masyarakat tak lagi memiliki waktu untuk memikirkan tentang kapitalisme yang sedang meenggurita di lingkungan mereka. Karena mereka terlalu sibuk untuk bekerja dan telah menjadi bagian dari sistem yang besar diamana mereka tak mampu melawannya. Dan salah satu cara untuk menghabiskan uang yang didapat dari bekerja adalah berbelanja, menjadi konsumen.

Awalnya mereka berbelanja ke pasar tradisional. Di pasar tradisional –kalau Anda masih ingat- tak hanya menjajakan sayuran, ikan berbau amis dan makanan orang pinggiran, tapi juga pakaian, fashion masyarakat pinggiran. Tak mau disamakan dengan fashion masyarakat pinggiran, para pekerja yang lebih menengah pergi ke supermarket yang notabene-nya lebih berkelas. Pun tak ada perbedaan dari barang yang dijajakan, masyarakat yang memiliki penghasilan lebih dari orang pinggiran lebih memilih berpergian ke supermarket daripada ke pasar tradisional, yang terkenal becek dan bau amis, untuk mendapatkan status sosial yang lebih terpandang.

Barang-barang yang ditawarkan –baik di pasar tradisional maupun supermarket- menjadi seragam, tak ada yang beda. Mainstream, begitulah istilah populernya. Hingga lahirlah gerakan do it yourself (DIY) yang lahir dari aktivitas intelektual yang sadar bahwa segala hal yang mainstream hanya menguntungkan pengusasa kapitalis.


DIY adalah konsep madiri dan swadaya –yang pada zaman Orde Lama dikenal dengan berdikari- yang tidak menggantungkan diri kepada pihak lain. Masyarakat yang memakai konsep DIY untuk sekedar memenuhi kebutuhannya sendiri berkembang untuk memenuhi kebutuhan orang lain pula. Mereka menciptakan pasar dari barang-barang yang mereka buat. Salah satu contoh adalah fenomena merabaknya distro-distro dari konsep DIY tersebut, yang setelah menjadi besar adalah bagian dari sistem kapitalis itu sendiri –walaupun dalam skala yang lebih kecil. Konsep hanyalah tinggal konsep.

Sadar atau tidak, kita telah menjadi bagian dari kapitalisme, yang akan selalu menjadi konsumen. Dan, kesadaran pula yang bisa menyelamatkan kita, setidaknya dari pengeluaran yang berlebihan –yang semakin memberatkan kantong-kantong penguasa kapitalis.

2 komentar:

  1. Tulisan lo sama tulisan Heri ini mengulang apa yang pernah diperdebatkan jakartabeat yah.

    Hmm... Kalo kata Fathun Karib (di tulisan terakhir dalam perdebatan itu), mainstream, indie, dan DIY hanya beda di proses produksi.

    DIY setau gua awalnya dari kultur Punk, yang menolak kapitalisme (budaya mainstream, budaya pop): oleh karenanya peran uang (yang masih ada dalam indie, "kapitalis kecil") harus disingkirkan dengan cara barter.

    Dalam musik, misalnya, mereka yang mempraktekkan DIY lebih suka bertuker karya daripada menjual-belikannya. (mungkin gua keliru, monggo dikoreksi)

    Selain itu, Punk (anarkis) yang juga menolak konsep kepemilikan, juga melawan dengan cara anti-hak cipta. Hak cipta adalah pencurian. Anti-copyright. Copyleft.

    Itu setau gue sih. Markit diskusikan rame-rame. Hehehe...

    BalasHapus