Laman

Minggu, 20 Juli 2014

Getir Malem

Marry melompat dengan tergesa-gesa ke pematang sawah. Ia lantas lari sekuat tenaganya. Sesuatu yang buruk nampak mengintainya dari pekatnya malam. Ia sungguh tak tahu harus bagaimana. Yang ia tahu adalah bagaimana ia bisa secepatnya menemukan terang dalam pelariannya.
Ia masih terus berlari dalam keresahannya. Gundukan tanah sawah yang licin tak membuatnya mengendurkan kecepatannya. Kegetiran masih mengintainya, terus mengintainya hinggaia berteriak dengan lantang. Tak ada yang mendengar teriakannya. Bahkan, tanaman tebu disampingnya tak menghiraukan teriakannya.
Marry kini tengah dalam kegelisahan tingkat tinggi. Ia cemas dan bersandar diantara orang-orangan sawah. Seketika ia mendengar suara berisik diantara rimbunan tebu. Ia lantas menghilangkan kegetirannya dan kembali berlari.
Keresahannya semakin menjadi-jadi. Ia hilang kendali dalam pelariannya. Ia menginjak sebuah batu tajam. Batu itu membuatnya berdarah seketika. Tapi marry tak berhenti, ia tetap berlari. Darah segar terus mengucur dari kaki cantiknya itu.
Pagi datang menjelang. Marry melangkah gontai diantara pematang sawah. Darahnya masih belum uga surut. Ia sudah agak stabil. Ia meringis kesakitan akan luka di kakinya. Ia terus memegagi kaki jenjangnya itu, kaki itu selalu mejadi gunjingan para lelaki yang melihatnya.
Tanpa ia sadari, sesosok pria bertubuh besar telah berada di belakangnya. Pria itu membawa sabit tajam. Ia langsung menebas leher Marry dengan dinginnya. Pria besar tersebut terus menebas Marry, kalii ni lengannya yang penuh rajah ditebas. Marry sekarat, ia hampir mati, seorangpun tak ada yang mendengar teriakan lirihnya.
Ayam jantan berkokok kencang menandakan pagi telah benar-benar datang. Suara ayam tersebut beriringan dengan jeritan Marry. Pria besar itu nampak asik memotong-motong tubuh Marry dengan dinginnya. Tapi Marry masih hidup, mungkin sebentar lagi mati.


Percakapan

Bulan sudah ada di tempat yang seharusnya. Tepat di atas kepala. Malam ini, ia sangat penuh. Tak ada bayangan bumi di tubuhnya. Cahaya dari surya terpantul menuju sisi lain Bumi yang ditinggal matahari. Redup, melewati celah daun dan batang.

Suara angin menyuling tubuh dedaunan begitu nyaring terdengar. Jangkrik dan kodok bersahutan membuat lantunan kor yang riang. Gemericik air di tanah pun ikut bergoyang. Sepasang anak manusia ada dalam rimba hutan. Namun kedua anak manusia itu tetap diam.

“Apakah kita berdua bisa bicara sebentar?”

“Tentu. Memang apa yang ingin kau sampaikan?”

“Aku hanya ingin memulai sebuah percakapan.”