Laman

Sabtu, 19 Juli 2014

Racauan I

Orang-orang yang es-o-te-er sampai bikin macet dan ngeblock jalan itu, ide awalnya apa, ya? Aku bingung.

Tapi aku yakin, pasti ada orang baik di antara mereka yang riuh-ribet es-o-ti-ar di Jakarta yang kita cinta sekaligus kita love dan kita benci sekaligus kita hate ini.

Hmm soal Jakarta, aku jadi teringat Lucky Anash yang menyedihkan itu. Di lagunya berjudul "Jakarta", ia mengemis, "Jakarta, terimalah aku apa adanya."

Lucky mencintai Jakarta. Tapi Jakarta membenci Lucky. Barangkali karena Lucky miskin dan bodoh, dan buruk dan dungu.

Namun Jakarta di mata Lucky, seperti perempuan di mata Slavoj Zizek, filsuf yang gagal jadi presiden itu. "Kita mungkin tak bisa hidup dengannya," kata Zizek. "Tapi kita lebih tak mungkin lagi hidup tanpanya."

Racauan ini aku tulis setelah melewati jalan raya jam satu malam, yang dipenuhi rombongan sahur on the road sekeramaian parkiran mall saban sabtu.

Cak Nur

20.30 waktu Indonesia bagian barat. Badan saya masih terasa tidak enak. Satu pesan telah nampak di layar telepon genggam. Saya membacanya, ajakan untuk datang ke rumah teman. Saya tak membalas. Memang tak ada pulsa. Akhirnya saya ditelepon. Saya angkat, minta jemput.

Seperti biasa orang-orang yang pernah menjadi satu kelas di sekolah dasar dan bertemu lagi saat sudah kepala dua, obrolan tak jauh-jauh dari buka bersama. Apalagi ini bulan puasa. Saya menyimak sambil sesekali melihat layar televisi yang memutar film The Raid.

Tema tentang buka bersama telah usai. Kami mencari-cari tema baru. Saya bilang, ada lomba membuat esai tentang pemikirannya Nurcholish Madjid (Cak Nur). Teman saya tak banyak yang menanggapi, hanya beberapa orang dan lingkaran besar mulai terpecah.

“Lomba gimana?” tanya teman saya.

“Lomba bikin esai tentang pemikirannya Cak Nur. Sumbernya dari buku-buku Cak Nur. Intinya sih tentang pemikiran Islam,” jawab saya menyimpulkan. “Lu punya bukunya Cak Nur gak?”

Gak punya. Ya, pemikirannya Cak Nur mah gak jauh sama Cak Nun lah, sama-sama Jawa Timuran. Kalo lu mau tau lebih dalem mah, ikutin aja ceramahnya setiap jam tiga pagi di TVRI. Dia yang suka ceramah pake peci ada pin garudanya, kan?”

“Cak Nur udah meninggal, tong, masa masih ceramah di tv?” tanya saya kaget. Setahu saya, Cak Nur memang sudak cukup lama meninggal.

“Ya mana gue tau. Itu sih ceramahnya ulangan, gak live.”

Saya mengiyakan ucapan teman saya. Lantaran itu disiarkan di TVRI, maklumlah kalau bukan siaran langsung. Sengaja saya tidak tidur malam itu, untuk melihat sosok Cak Nur di TVRI. Dan benar saja, sosok yang ceramah di TVRI pagi itu adalah seorang dengan peci ber-pin garuda, keterangan namanya; Cak Nur (Muhammad Nurhadi).

Cak Nur (Muhammad Nurhadi)
Sadar, saya ingat kalau harus sahur.