Laman

Minggu, 13 Oktober 2013

Membandingkan Eleven dengan Abominasi Zine

Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta tengah merindukan terbitan-terbitan mahasiswa, dari yang sifatnya informasi, persuasi, atau bahkan propaganda. Hal tersebut saya simpulkan dari setidaknya beberapa tongkrongan yang saya ikuti.

IISIP (dulunya Sekolah Tinggi Publistik) – yang terkenal dengan sebutan “Kampus Jurnalistik” – memang minim sekali terbitan mahasiswa. Kampus yang selalu memiliki jumlah pendaftaran terbanyak pada jurusan jurnalistik ini juga tidak memiliki Lembaga Pers Mahasiswa yang menjalankan fungsi anjing penjaga (watch dog function).

Pertanyaan mengenai mengapa tidak ada LPM yang menjalankan fungsi anjing penjaga, rasanya lebih tepat dibebankan pada pundak Himpunan Mahasiswa Jurnalistik.

Himajur sebenarnya punya sebuah terbitan bernama Eleven (terbitan tertua di IISIP, klaim redaksinya). Saya mendapatkannya beberapa hari lalu. Namun belum lama juga saya menemukan sebuah zine bernama Abominasi. Oleh karena itu, dari pada menjawab pertanyaan tadi, di sini saya ingin menulis review dengan membandingkan keduanya, membandingkan antara yang legal dengan yang ilegal. Ada beberapa segi yang ingin saya bandingkan: struktur redaksi, teknik penulisan, layout, dan harga.

Yang Legal dan Yang Ilegal

Abominasi adalah zine yang dicetak secara mandiri, independen, dan ilegal, oleh seorang mahasiswa jurnalistik angkatan 2012, Bima. Mandiri, maksud saya, adalah konten dan proses produksinya digarap sendiri. Independen artinya Bima berada di wilayah yang bebas nilai (tidak membawa kepentingan dari pihak tertentu). Ilegal berarti tidak memiliki izin resmi dari pihak kampus.

Sekitar sebulan lalu, saya menemukan Abominasi. Bima menerbitkan zine ini benar-benar apa adanya – kalau tidak boleh dibilang sebisanya. Bima menyebarkannya dengan semangat berbagi informasi dari apa yang ia sukai: metal. Saya sempat mereviewnya. Apa yang telah Bima lakukan menyiratkan pesan bahwa menerbitkan karya adalah hal yang mudah.

Lalu kemarin saya menemukan Eleven (edisi Oktober 2013), terbitan legal dari Himajur. Seperti yang sudah saya tulis tadi, legal dalam pemahaman banyak siswa berarti memiliki izin dari kampus, paling tidak organisasinya. Entah siapa yang membentuk pemahaman seperti itu.

Eleven hadir dengan semangat “mendidik para anggota Himajur untuk menjadi wartawan andal,” begitu tulis redaksinya. Media ini, lanjutnya, “diperuntukan bagi para calon jurnalis muda untuk berlatih menulis berita dengan baik.”

Pembuatan media, secara teknis jelas terkait dengan, setidaknya, dua mata kuliah di jurusan jurnalistik: Bahasa Indonesia Jurnalistik dan Editing dan Produksi Media Cetak. BIJ penting dalam hal konten, dan EPMC perlu paling tidak dalam segi “tampilan”.

Sebagai media yang ingin melahirkan “wartawan andal” (apapun maknanya istilah ini) – seperti yang diklaim redaksinya – Eleven tak mempraktikkan dengan baik ke dua mata kuliah yang saya sebut tadi.

Jajaran Redaksi Tak Berarti Bikin “Rapih”

Berbeda dengan Eleven, Abominasi tak memiliki struktur yang jelas dan rinci. Eleven Nampak lebih professional dengan jajaran dredaksi dari Pemimpin Umum sampai Layouter. Sedangkan dalam Abominasi, seluruh proses penggarapannya – dari penentuan konten, penulisan, sampai urusan layout – dikerjakan oleh Bima seorang. Tetapi jajaran redaksi rinci yang dimiliki Eleven tak serta merta membuat Eleven lebih rapih dibanding Abominasi.

Salah satu contohnya, dari segi penulisan. Eleven secara terang benderang tidak menerapkan dengan baik apa yang telah dipelajari di kelas BIJ. Entah sengaja atau tidak, saya melihat banyak kalimat yang tak logis, kata mubazir, dan penulisan judul yang salah. Hal serupa tentu saja dapat juga ditemukan di Abominasi yang tidak memiliki editor khusus.

Selain itu, layout Eleven nampak lebih parah dari pada Abominasi. Tata letak Eleven sangat tidak teratur. Itu dapat tergambar dari banyaknya spot kosong yang terbuang sia-sia sehingga memakan banyak halaman, serta penggunaan ukuran huruf dan line spacing yang tidak konsisten. Itu sangat tidak enak dilihat. Di persoalan ini, saya malah melihat layout Abominasi yang dibikin Bima secara manual (dengan mengeprint-tempel-fotocopy) malah sedikit lebih baik.

Soal harga adalah yang paling menarik. Harga Eleven dipatok Himajur 5000 rupiah. Hal tersebut, mengutip teman saya, “harga yang tak masuk akal, mengingat daya beli anak-anak IISIP itu susah.”  Sedangkan Abominasi, disebarkan secara gratis seperti udara. [1]

Sebenarnya ada hal lain yang layak dibandingkan: cover dan gambar (citra media), rubrikasi (apa yang ingin dikatakan), dan isi (bicara soal apa). Soal itu, barangkali teman saya yang lain saja yang mengulasnya.

Sangat disayangkan jika Himpunan Mahasiswa Jurnalistik tak mampu mempraktikkan kegiatan jurnalistik dengan baik dan benar. Saya malah melihat Abominasi sedikit lebih keren. Jika tidak percaya, silahkan bandingkan sendiri.

***
[1] Bima sempat mengatakan perihal proses produksinya pada saya. Kalau tidak keliru, ia mengeluarkan uang 125 ribu untuk menghasilkan 35 eksemplar Abominasi Zine.



Semalam Bersama

Di malam itu
Saat ku bersamamu
Berdua saja

Sepucuk Surat untuk Evan Dimas

Wahai kau Evan Dimas, aku menonton pertandinganmu saat melawan Korea Selatan yang takluk dalam guyuran hujan. Malam ini, aku sempatkan untuk menulis surat ini. Semoga kau membaca.

Tak kusangka, di balik wajahmu yang lemas, engkau memiliki napas yang tak kunjung henti. Larimu seperti harimau, goyanganmu seperti lebah, sujud syukurmu seperti manusia. Engkau adalah persatuan yang sempurna.

Tak ingin aku melewati untuk memujimu malam ini. Sungguh.

Sebenarnya, aku bukanlah orang yang bisa menulis surat untuk manusia yang kupuja. Aku tidak bisa menulis kata mesra. Ah bajingan kepada wasit yang memberikan penalti dan tendangan bebas untuk Korea Selatan. Harusnya kita bisa menang tiga kosong. Tapi itulah pertandingan. Janganlah kau menaruh dendam pada wasit itu, meskipun dia seorang Malaysia. Sayanglah, Dimas.

Hey Dimas, aku sungguh merasa malu. Tadinya aku ingin memasang taruhan untuk Korea Selatan. Namun, hati nurani ini melarangku untuk jangan. Beruntunglah aku. Engkau mencetak hat-trick ke gawang Korea Selatan dengan tembakan dari mukamu yang lemas, hingga Korea tak jadi menang.

Dimas, namamu seperti nama temanku. Dulu temanku pernah dipukuli oleh bapaknya karena disangka minum minuman keras di depan sekolah. Ternyata bapaknya salah. Yang mabuk di depan sekolah adalah temannya Dimas, bukan Dimas. Tapi tetap saja, muka temanku sudah babak belur dipukuli. Ah, kasihan sekali. Semoga nasibmu tidak seperti temanku.

Evan Dimas, aku melihat komentarmu di berita. “Semua bisa dikalahkan, kecuali Tuhan.” Begitu kira-kira bunyinya. Semoga saja, engkau dapat mengalahkan PSSI, dan bahkan Menpora yang sungguh tak indah mukanya untuk di tampilkan dalam tulisan ini. Oh Dimas, doaku selalu untukmu. Tidak janji, namun akan kuusahakan.

Satu lagi, Dimas. Janganlah engkau tergiur untuk menjadi bintang iklan sebuah merek makanan, yang sebenarnya rasanya enak, namun tak memilik tim kreatif iklan yang baik. Nanti pasti kau akan disuruh nyanyi. Namun semua keputusan ada di tanganmu. Jangan sampai kau menyesal.

Mungkin hanya sampai di sini aku dapat menyapamu. Jangan dengarkan komentator-komentator di layar kaca pertandinganmu disiarkan. Karena komentator adalah kosong, dan kau adalah isi. Isi dan kosong, semoga saja memiliki banyak perbedaan.

Dimas, di paragraf terakhir ini akan kutuliskan namamu dengan sebuah rasa, kebanggaan. Evan Dimas, engkau, ..ah, sudahlah!