Gambarnya minjem dari sini.
Badannya tegap, rambutnya cepak, matanya bulat dan perawakannya
seram. Namanya Doni. Ia tinggal bersama kakeknya. Ayah ibunya sudah lama
meninggal akibat kecelakaan saat sedang mencari ikan di laut. Umurnya belum
sampai seperempat abad. Setiap makan, Doni selalu menenggak telur ayam kampung
yang ia ambil dari kandang ayam neneknya.
Doni bukan tentara. Sebagaimanapun ia berusaha, Doni tak
akan bisa jadi tentara.
Dari kecil, Doni selalu mengidolakan kakeknya yang seorang
veteran perang. Kakek Doni selalu bercerita tentang peristiwa yang pernah ia
alami saat perang dahulu. Kadang bercerita tentang betapa sulitnya melawan
penjajahan yang kejam, sampai pengalaman mencuri senjata di markas Jepang untuk
sebuah kemerdekaan. Sering kali kakek Doni memamerkan luka di perutnya akibat
tertembus peluru saat sedang melarikan diri sehabis mencuri senjata di markas
Jepang. Kakek Doni bercerita dengan penuh kebanggaan. Doni menganggap kakeknya
adalah pahlawan sejati, yang memperjuangkan kemerdekaan negaranya.
“Jadi tentara dulu itu bukan karena jadi pns, tapi
perjuangan. Bagi kakek, mencuri di markas penjajah itu hukumnya halal,” ucap kakek
kepada Doni yang selalu mendengarkan tanpa interupsi.
Kakeknya selalu dianggap Doni sebagai seorang pahlawan,
walaupun pernah mencuri senjata dari Jepang.
Doni kecil tumbuh dari cerita kakeknya. Ia dibina menjadi
lelaki yang kuat dan berani untuk menghadapi kenyataan. Setiap hari disuruh
lari keliling lapangan dari azan Ashar sampai Magrib menjelang. Makanan yang
diberikan kakek, selalu dicampur dengan telur ayam setengah matang, lebih
sering telur yang diberikan tidak matang sama sekali. Hidupnya penuh dengan
kedisiplinan. Namun seberapapun Doni mencoba, ia tak mungkin jadi tentara.
Hari-hari si Doni kecil selalu diisi dengan latihan bersama kakeknya.
Kadang bermain perang-perangan dengan teman sebayanya. Sering mereka sampai adu
jotos karena yang tertembak tidak terima. Pernah suatu hari, gigi Doni copot
akibat temannya yang menghantamkan pistol kayu mainan ke rahangnya. Namun Doni
tetap suka bermain perang-perangan. Namun seberapapun Doni menyukai perang, ia
tak akan bisa jadi pahlawan nasional dalam sebuah perang.
Pernah suatu ketika, saat Doni baru lulus sekolah menengah
pertama, ia diajak oleh temannya untuk mengikuti tes masuk militer. Namun ajakan
itu ditolak karena Doni merasa belum siap dana dan tenaga untuk menjadi
tentara. Padahal di kampungnya, seorang tentara sangat dihargai. Setiap ada
tentara pakai pakaian seragam lewat, setiap orang yang melihat langsung
menundukkan kepalanya. Itu dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada tentara.
Maklum, di kampung Doni, hanya seorang tentara yang rumahnya dipasang pagar
berduri. Namun, betapapun dihargainya seorang tentara di kampungnya, tak ada
satu orang pun orang asli kampung itu yang jadi tentara.
Saat Doni mulai beranjak remaja, orang-orang kampung selalu
menganjurkannya agar setelah lulus sekolah langsung ikut tes militer. Doni
hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala, tanda setuju.
“Don, nanti kalau sudah lulus, cepet-cepet ikutan tes
tentara. Badanmu mantep, fisikmu mantep. Jendral pun mental, kalau kamu ajak
berantem,” ucap seorang warga desa saat Doni sedang duduk di pos ronda.
Doni pun selalu memimpikan suatu saat nanti bisa jadi
tentara. Namun, mimpi itu hanya mimpi. Doni pun tak pernah menjadi tentara. Ia hanya cucu dari seorang veteran perang yang kadang kekurangan beras untuk makan.
Kabarnya, ada seorang maling yang mati tertembak karena mencoba
mencuri beras dari rumah tentara di kampungnya Doni. Muka maling itu habis ditimpah popor senapan.
Seberapapun Doni mencoba, ia tetap tak pernah menjadi
tentara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar