Akhir pekan kemarin,
saya hendak menuju Pondok Kelapa untuk menyaksikan perhelatan Festival Teater
Jakarta Timur. Tapi tenang, saya tidak hendak membahas tentang perlombaan
teater yang sedang berlangsung itu. Saya ingin berbagi pengalaman tentang
jalanan lurus sepanjang Kalimalang, jalan yang saya lewati untuk menuju Pondok
Kelapa. Secara sadar, saya belum pernah ke daerah Pondok Kelapa. Google Maps menjadi alat bantuan yang
pasti, setelah saya tanyakan ke orang-orang yang selalu menjawabnya penuh
perkiraan.
Siang itu, Jakarta,
seperti biasa, terasa sangat menyakitkan dengan panasnya yang memang biasanya
tidak biasa. Untung –sebagai orang Jawa saya selalu merasa untung- kemacetan
tidak terlalu parah sehingga energi dan emosi saya tidak terlalu habis di
jalanan Jakarta. Pasar Minggu sudah terlewati, Kalibata pun terkangkangi,
sampai UKI Cawang, langsung saja belok kanan dan saya mulai memasuki Kalimalang.
Angkutan kota
(angkot) warna biru mulai menghiasi pinggir jalan. Kadang ada yang menancap gas
dengan perlahan, ada pula yang langsung banting setir ke kiri ketika menurunkan
penumpang. Ah sudahlah, itu memang kebiasaan yang tidak biasa. Pemandangan di
kanan jalan ada kali sempit yang lurus mengikuti panjangnya jalan Kalimalang. Terlihat
pula di pinggir kali beton-beton bakal jalan layang yang terabaikan. Mungkin kali
itu yang namanya Kali Malang. Tapi mengapa bernama Malang? Apakah dahulu banyak
orang Malang tinggal di tempat itu? Atau masyarakat tempat itu selalu merasa
malang? Saya sedang tidak ingin membicarakan asal-usul Kalimalang.
Mungkin tidak benar jika
nama Kalimalang dimaknai sebagai representasi warga di daerah itu yang malang, karena
kemalangan itu tak terjadi pada saya –walaupun saya bukan warga Kalimalang dan
hanya sekedar tersesat dalam kelurusan Kalimalang. Saya membiarkan diri saya
tersesat di daerah Kalimalang, walaupun saya sebelum berangkat sudah mengamati Google Maps dengan seksama, namun Kalimalang tetap terasa asing. Seperti pergi
ke daerah Kuningan, Jawa Barat (mungkin saya agak berlebihan), ketika sejuknya
pepohonan menghalangi matahari yang sedang tak senang (setidaknya seperti itu kondisi
Kuningan saat terakhir kali saya melewatinya). Perlahan, saya mulai bosan saat
sadar jalanan yang lurus ini tak kunjung berpangkal –ya, sama seperti hidup
yang lurus-lurus saja, pasti membosankan. Namun, saya tetap menikmati
ketersesatan dalam Kalimalang.
Kalimalang tak
seganas jalan panjang Condet yang sempit, macet dan banyak pengemudi tak
sabaran di belakang Metro Mini yang menunggu penumpang (mohon maaf untuk warga
Condet dan sekitarnya bila tersinggung). Juga tak sepanjang jalanan lurus dari
Puncak menuju Bandung (entah, saya lupa nama jalannya). Tapi suasana di
Kalimalang membuat saya merasa senang untuk tersesat dalam jalanan yang lurus
dan panjang. Entah karena apa. Mungkin pepohonan yang terasa menyejukkan, mungkin
kemonotonan jalanan yang terus saja tak bergoyang, atau mungkin suasana kalinya
yang sempit dan berwarna hijau-kecoklatan. Saya rasa, tak dibutuhkan sebuah
alasan untuk menikmati suasana jalan Kalimalang. Saya membiarkan diri saya
untuk tersesat dalam sebuah perjalanan dan mencoba menikmati ketersesatan itu. Semoga
saja lain kaki sya kembali beruntung menemukan Kalimalang-Kalimalang yang lain,
tentu dalam ketersesatan yang lain pula.
Daftar Casino Online Indonesia
BalasHapusDaftyar Casino Terpercaya
Daftar Roulette Online
Agen Judi SBOBET
Judi Bola
Judi Online
IBCBET Online
Agen Judi Roulette Online
Agen Judi Roulette
Daftar Sbobet
Agen Roulette