Ilustrasi: worldsstrongestlibrarian.com
Jurnalisme warga, yang saat ini menjadi fenomena di
Indonesia, lahir dari ketidakpuasan masyarakat dengan media massa yang ada. Media-media
besar semakin hari semakin berpihak kepada kepentingan penguasa. Informasi yang
dihadirkan sering kali tidak berimbang. Hal ini yang menyebabkan masyarakat
tidak puas dengan berita-berita yang disajikan di media mainstream.
Banyak kepentingan yang terdapat di dalam berita yang
disajikan media massa. Mulai dari
kepentingan politik, ekonomi, dan lain sebagainya, yang semakin membuat media
massa tidak seimbang (cover both side)
lagi dalam menyampaikan isi pernyataan. Yang dirugikan adalah masyarakat yang
mengkonsumsi media tersebut. Masyarakat diberikan mitos melalui tanda (bahasa)
oleh media, kemudian media mengemas mitos dengan rapi, sehingga mitos itu
dianggap sebagai sebuah kebenaran. Mitos-mitos yang diciptakan media mainstream membuat masyarakat terperangkap
dalam tanda-tanda yang diberikan tanpa tahu kebenarannya, bagaikan seekor katak
dalam tempurung. Dalam kepalsuan mitos itu pula, kualitas pikiran masyarakat
terus menurun. Oleh karena itu, mitos yang dihasilkan oleh media perlu untuk
diketahui asal-usul kebenarannya.
Masyarakat yang memiliki sikap kritis, tentu, tidak begitu
saja percaya dengan apa yang disaksikan melalui media massa. Mereka, yang masih
bisa sedikit kritis, akan berusaha membongkar fakta yang diberikan oleh media mainstream. Namun, mitos yang dihasilkan
oleh media massa tidak lantas menjadi alasan untuk membenci media yang
notabene-nya memberi informasi. Salah satu cara untuk membongkar mitos tersebut
adalah dengan menjadi media yang lebih jujur, obyektif, tanpa adanya
kepentingan para penguasa. Dari hal tersebut munculah jurnalisme warga, sebagai
media dari dan untuk untuk masyarakat.
Juralisme warga lahir dari masyarakat yang muak dengan
media massa mainstream, yang seragam.
Mereka, masyarakat yang muak dengan media mainstream, lantas mencari media
alternatif, mengamati dan mulai menirukannya. Sadar atau tidak, mereka telah
menjadi media –setidaknya media untuk menyalurkan pemikirannya sendiri. Saat
ini masyarakat dapat dengan sangat mudah menjadi media yang memnyampaikan
pikiran-pikirannya tentang isu atau kondisi yang sedang terjadi melalui situs jejaring
sosial yang ada. Jika antusias seperti ini dikelola dengan baik, seperti
jurnalisme profesional, tentu akan menjadi alternatif bagi masyarakat untuk
menemukan informasi yang berbeda dari berbagai perspektif.
“Don’t hate the
media, just be the media,” begitulah salah seorang kawan saya berucap.
Jangan pernah menyalahkan media bila kita tak dapat berbuat apa-apa.
Setidaknya, bertindaklah sebagai media. Media yang menghasilkan pikiran-pikiran
segar, yang telah lama hilang dari media-media besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar