Laman

Rabu, 31 Oktober 2012

Sebuah Lampu


Seorang teman datang kepada saya di siang yang terik dan berawan. Ia menyulutkan rokok kretek dan memulai pembicaraan dengan saya “kemaren maen jadi apaan lo di teater? sayapun menjawab, “maenin lampu gua” jawab saya. “anjir, masa maenin lampu sih?” saya pun menjawab, “emang kenape? Salah yah?” dan kami mulai berkata panjang lebar tentang apapun dan tentunya sangat menghabiskan waktu yang semakin hari semakin sempit.

Obrolan tadi memang terdengar biasa namun terkesan satir yang penuh canda. Namun saya mencoba menafsirkan obrolan sederhana tadi ke arah yang lebih serius. Tentang pentingnya peran sebuah lampu dalam pertunjukan teater. Sebuah hal bodoh menurut orang banyak yang saya akan uraikan sedikit demi sedikit.sekedar untuk hiburan semata.


Dalam pementasan teater, sosok Lightman sepertinya kurang mendapat sorotan dari para pemeran tokoh teater. Tentu saja hal ini sangat beralasan. Penonton tentu hanya memperhatikan setiap adegan yang terjadi diatas panggung. Itu adalah hal mutlak, Jarang ada penonton teater yang memperhatikan sosok seorang lightman, sorot lampu yang keluar mungkin yang menjadi bahan perhatian penonton.

Namun apakah peran Lightman dalam suatu pementasan teater begitu kecil? Tentu tidak. Mengutip perkataan senior saya di teater kampus, “dalam produksi suatu teater, semua elemen produksi merupakan elemen yang berkaitan satu sama lain” sayapun mengamini hal itu. Lightman seakan menjadi sebuah peran yang dikucilkan oleh seorang yang awam tentang teater, termasuk kedua orang tua saya.

Bayangkan bila suatu pementasan super megah, dengan para pemeran berbiaya  mahal, biaya sewa gedung yang super aduhay dan property yang ciamik nian berlangsung tanpa adanya sosok Lightman dan tanpa adanya lampu-lampu yang menghiasi panggung. Apa yang akan terjadi? Tak ada yang bisa kita lihat selain kegelapan pekat dan suara para pemeran yang berbicara tanpa penonton tahu siapa yang berbicara.

Hal ini bisa disimpulkan sebagai suatu keterkaitan satu sama lain. Semua hal indah dan terbaik tak mungkin bisa berjalan dengan baik tanpa elemen kecil. Jika pertunjukan teater dianalogikan sebagai raga manusia, maka sosok lampu merupakan sebuah mata yang tak bisa dipisahkan dari sebuah raga. Jikapun ada,cacatlah raga tersebut.

Tulisan ini tidak bermaksud menjelek-jelekan sosok teman saya, orang-orang yang awam tentang teater. Niat saya sekedar memberikan pencerahan dari apa yang pernah saya dapatkan. Tak ada maksud memberikan edukasi disini, jika ada yang tersinggung, anggaplah ini sebagai guyonan. Jika masih tersinggung, anggaplah anda tak pernah membaca tulisan ini.

Intermezzo Kematian


Foto: bbc.co.uk

Apakah kamu pernah merasakan mati? Aku sedang mengalaminya.” Kata-kata yang keluar melalui orang yang sedang bermonolog yang baru saja saya saksikan.

Hidupnya penuh kehampaan, penderitaan. Kisah percintaannya tak pernah berjalan mulus, pernikahannya berantakan, sampai kematian menjemputnya, hidupnya belum menemukan kebahagiaan. Menurutnya, kematian adalah jalan keluar. Jalan keluar menuju kebebasan. Ya, jika boleh saya katakan, ia adalah manusia putus asa yang tak punya harapan. Harapannya adalah untuk bertemu pada jalan keluarnya, yaitu kematian.

Seorang manusia adalah mereka yang belum pernah mengalami kematian. Lantas bagaimana manusia bisa tahu kalau kematian lebih indah dari kehidupan? Mungkin hanya sekedar pemikiran. Tapi, bukankah segala hal yang terjadi di dunia ini lahir berdasarkan sebuah pemikiran yang menjadi sebuah pengalaman empiris? Ya, itu bila bisa dibuktikan. Namun, ketika bicara tentang kematian, semua hanya sebatas prasangka melalui tanda. Manusia masih dalap tahap merabanya dan akan terus meraba sampi statusnya tidak lagi menjadi manusia.

Kematian –menurut prasangka saya- merupakan sebuah tujuan, tujuan tanpa harapan, bukan pelarian. Pelarian adalah anggapan dari meraka yang putus asa dengan kehidupannya dan ingin dengan cepat menggapai kebebasan –itu pun bila kematian adalah kebebasan. Kematian adalah keseluruhan proses yang terdapat dalam kehidupan untuk menuju kebenaran yang mutlak melalui kesabaran. Hidup hanya untuk mati, menurut saya benar. Tapi mati yang terlalu dipaksakan adalah putus asa. Bila dalam kehidupan saja sudah putus asa, bagaimana mau menghadapi kenyataan yang sesungguhnya dalam kematian?

Semoga kita bukan manusia-manusia putus asa yang kehilangan harapan.

Sakit Hati Oh Sakit Hati!


Barusan, menggunakan fitur blackberry messengger, saya iseng meminta pendapat beberapa orang mengenai rasa "sakit hati". Saya hanya melempar sebuah pertanyaan, "gimana sih rasanya sakit hati?", kemudian responden saya menjawab. 

Denia F Idris, mahasiswi komunikasi semester tiga: sakit hati ya “jleb” intinya. Misal lo suka sama cewek udah punya pacar, padahal lo udah deket sama doi. Susah dijelasin, mendingan lo rasain sendiri.

Maliky Tommy, mahasiswa semester tiga jurusan HUMAS: rasanya sakit hati itu gak bisa dijabarin kalo lo belom pernah sakit hati. Sakit hati itu beragam. Tergantung kasusnya. Kayak gua dikhianatin. Rasanya kayak ditatoo di bawah ketek. Gua gundah gulana, resah tak berujung. Bawaannya mual kalo minum alcohol abal. Ngobat aja gak ada rasanya. Gitingnya susah. Gak bisa tidur nyenyak. Ya namanya juga sakit, gak ada yang enak. Yang enak ngentot.

Refilda Viola, guru preschool: menyesal. Rasanya sakit hati itu seperti menyesal. Seharusnya dia (objek) gak gitu. Lebih dijadikan pelajaran sih, mungkin kecewa di awal.

Cowok yang gak mau disebutin namanya, seorang mahasiswa FISIP: rasanya macem ape ye… Ya kehilangan sesuatu yang berharga gitu, mungkin sama. Rese aja sih. Jadi delusi bawaannya. Jadi doyan nganalisis terkait kemauan sendiri. Terus prediksi, dan cari kenyataan yang bisa ngebela ekspektasi. Terus percaya deh sama yang dipikirin. Delusi. Tapi di sisi lain, makin ke sini makin enak. Pas ada kenangan atau apa, males mikirin. Tapi kalo diikutin kenangannya jadi enak gitu. Males. Bawaannya mager, terus tidur.

Sudah. Begitu saja.

Selasa, 30 Oktober 2012

Kisah Lainnya


Berantakannya hidup saya dimulai pada saat saya dimulai saat saya mengikuti akun Twitter yang bernamakan M. Bisa dilihat setiap detik dan menit selalu ada tweet yang penuh sesak  oleh omongan yang tak jelas. Namun dibalik itu semua, ada beberapa hikmah yang bisa dipetik dari sana.

Semena-mena, asal-asalan dan ketidakpeduliannya seakan memberikan sebuah renungan singkat untuk diri saya. Yang saya dapat adalah tidak semua omongan orang bisa kita terima semuanya. Sebuah hal yang kecil namun sangat bermanfaat. dan saat itu sikap tak peduli mulai tumbuh dalam diri saya.

Ada lagi hal yang bisa saya petik dari M, sifat terbukanya terhadap kaum hawa menjadi sebuah pelajaran untuk saya yang pecundang ini. Beberapa hari lalu saat saya melihat obrolan kawan saya dengan kawannya di Twitter. Dan yang jadi masalah adalah ketika saya ikut nimbrung diantara obrolan mereka dan berkata “cantik nih, siapa mey (nama kawan saya)?” mey pun menjawab “temen gue lah her” dan kawannya menjawab “wow”. Sebuah sinyal keberanian sedikit demi sedikit mulai muncul dari diri saya. Kemarin saya pecundang, hari ini saya pemenang. Terima kasih M.

Kemarin sore saat ada obrolan pembunuh waktu dengan para founder blog ini, kami kembali membicarakan Mr. M dan segala tingkah lakunya yang super cerdas dan kadang terlihat bodoh. Dan ada cerita yang membuat saya tertawa sore kemarin “ sesanggar-sangarnya m, gondrong, tattoan, tetep aja tunduk sama tukang tahu sumedang (Tukang tahu sumedang disini adalah Pidi Baiq , presiden Republik Panas Dalam)”  ucapnya.

Kalimalang yang Lurus nan Panjang



Akhir pekan kemarin, saya hendak menuju Pondok Kelapa untuk menyaksikan perhelatan Festival Teater Jakarta Timur. Tapi tenang, saya tidak hendak membahas tentang perlombaan teater yang sedang berlangsung itu. Saya ingin berbagi pengalaman tentang jalanan lurus sepanjang Kalimalang, jalan yang saya lewati untuk menuju Pondok Kelapa. Secara sadar, saya belum pernah ke daerah Pondok Kelapa. Google Maps menjadi alat bantuan yang pasti, setelah saya tanyakan ke orang-orang yang selalu menjawabnya penuh perkiraan.

Siang itu, Jakarta, seperti biasa, terasa sangat menyakitkan dengan panasnya yang memang biasanya tidak biasa. Untung –sebagai orang Jawa saya selalu merasa untung- kemacetan tidak terlalu parah sehingga energi dan emosi saya tidak terlalu habis di jalanan Jakarta. Pasar Minggu sudah terlewati, Kalibata pun terkangkangi, sampai UKI Cawang, langsung saja belok kanan dan saya mulai memasuki Kalimalang.

Angkutan kota (angkot) warna biru mulai menghiasi pinggir jalan. Kadang ada yang menancap gas dengan perlahan, ada pula yang langsung banting setir ke kiri ketika menurunkan penumpang. Ah sudahlah, itu memang kebiasaan yang tidak biasa. Pemandangan di kanan jalan ada kali sempit yang lurus mengikuti panjangnya jalan Kalimalang. Terlihat pula di pinggir kali beton-beton bakal jalan layang yang terabaikan. Mungkin kali itu yang namanya Kali Malang. Tapi mengapa bernama Malang? Apakah dahulu banyak orang Malang tinggal di tempat itu? Atau masyarakat tempat itu selalu merasa malang? Saya sedang tidak ingin membicarakan asal-usul Kalimalang.

Mungkin tidak benar jika nama Kalimalang dimaknai sebagai representasi warga di daerah itu yang malang, karena kemalangan itu tak terjadi pada saya –walaupun saya bukan warga Kalimalang dan hanya sekedar tersesat dalam kelurusan Kalimalang. Saya membiarkan diri saya tersesat di daerah Kalimalang, walaupun saya sebelum berangkat sudah mengamati Google Maps dengan seksama, namun Kalimalang tetap terasa asing. Seperti pergi ke daerah Kuningan, Jawa Barat (mungkin saya agak berlebihan), ketika sejuknya pepohonan menghalangi matahari yang sedang tak senang (setidaknya seperti itu kondisi Kuningan saat terakhir kali saya melewatinya). Perlahan, saya mulai bosan saat sadar jalanan yang lurus ini tak kunjung berpangkal –ya, sama seperti hidup yang lurus-lurus saja, pasti membosankan. Namun, saya tetap menikmati ketersesatan dalam Kalimalang.

Kalimalang tak seganas jalan panjang Condet yang sempit, macet dan banyak pengemudi tak sabaran di belakang Metro Mini yang menunggu penumpang (mohon maaf untuk warga Condet dan sekitarnya bila tersinggung). Juga tak sepanjang jalanan lurus dari Puncak menuju Bandung (entah, saya lupa nama jalannya). Tapi suasana di Kalimalang membuat saya merasa senang untuk tersesat dalam jalanan yang lurus dan panjang. Entah karena apa. Mungkin pepohonan yang terasa menyejukkan, mungkin kemonotonan jalanan yang terus saja tak bergoyang, atau mungkin suasana kalinya yang sempit dan berwarna hijau-kecoklatan. Saya rasa, tak dibutuhkan sebuah alasan untuk menikmati suasana jalan Kalimalang. Saya membiarkan diri saya untuk tersesat dalam sebuah perjalanan dan mencoba menikmati ketersesatan itu. Semoga saja lain kaki sya kembali beruntung menemukan Kalimalang-Kalimalang yang lain, tentu dalam ketersesatan yang lain pula.

The Power of "Terus Kenape"


Frasa "terus kenape", belakangan ini menjadi senjata paling ampuh bagi beberapa teman saya dalam menangkal setiap serangan kalimat-kalimat dari oranglain. Setiap kritikan yang ofensif, sekejap dapat dipatahkan dengan pertahanan berupa pertanyaan "terus kenape?". Kadang-kadang, frasa itu ditambah kalimat lain semacam, "you pikir vox you vox dei?" (lo pikir, suara lo suara tuhan?).

Awalnya, frasa itu sering digunakan oleh akun twitter @midiahn, seorang publik figur yang absurd (sila cek timeline twitternya). Salah satu teman saya yang juga fans M (nama twitter @midiahn) pun menirunya hingga akhirnya menjadi tren lokal di kalangan teman-teman saya.

Saya semula menganggap itu semacam lelucon. Tapi barusan saya mendapatkan pengalaman yang membuktikan bahwa frasa itu memang memiliki semacam kekuatan tersembunyi.

                                                                                                      ***

Saya kaget. Sekitar jam satu tengah malam tiba-tiba telfon rumah saya berdering, memecahkan segala kesunyian. Ini tak seperti biasanya. Aneh. Jarang sekali orang menelfon di malam seterik ini. Orang-orang rumah saya sudah tertidur lelap. Saya pun langsung bergegas mengangkat telfon tersebut dengan segenap penasaran yang ada dan juga untuk menjaga agar orang-orang di rumah saya tidak terbangun.

"Halo...," saya mengangkat telfonnya. Terdengar suara kerumunan.
"Pa...," suara tangis. Si penelfon itu menangis membelakangi suara kerumunan tadi.
"Halo... Siapa nih?", saya memastikan.
"Pa, ini aku," nangisnya semakin menjadi-jadi, "aku ketangkep polisi, Pa...", semakin lengking.
"Terus kenape?", saya menjawabnya enteng.
"nuuuut... nuuut... nuuuuut," dan telfon pun terputus.

Saya tahu betul, itu adalah telfon penipuan. Teman-teman saya sudah banyak sekali yang menceritakan pengalamannya mengenai penipuan dengan modus seperti itu. Cara yang sama, di waktu yang sama. Penipu tersebut biasanya meminta korban menransfer uang, membuat korban panik di tengah malam yang sepi. Beberapa teman saya pernah ada yang terjebak. Mengerikan memang.

Tapi betapa tidak, malam ini, si penipu menyerah dengan menutup telfonnya karena merasa usahanya sia-sia hanya karena sebuah frasa: TERUS KENAPE?

Senin, 29 Oktober 2012

Aksi dan Reaksi


Meremehkan sesuatu akan berakibat fatal, saya adalah seorang korban atas tindakan bodoh itu. Akibat meremehkan ujian dalam perkuliahan saya menerima ganjaran yang setimpal. Kegelisahan yang mendalam.
Hari ini ada tiga mata kuliah yang di ujikan oleh masing-masing dosen mata kuliah. Entah mengapa pada minggu malam saya hanya fokus mempelajari satu mata kuliah saja. Saya menganggap dua mata kuliah lainnya bisa saya kerjakan tanpa saya harus repot-repot belajar. Namun kenyataanya berlawanan.
Siang tadi, saat mata kuliah penjurusan saya merasa sangat bingung, panik, dan berkeringat. Sampai-sampai pengawas ujian berkata “kamu udah sarapan belum? Ini soalnya susah lho” saya pun menjawab dengan cengengesan “udah pak” betapa tololnya saya saat itu.

Sampai pengisian jawaban, semua hal yang saya pelajari mendadak hilang dari ingatan saya, padahal saya hanya belajar hal itu. Otomatis dengan sigapnya saya menerapkan sistem lama yang tak pernah usang, bertanya kepada teman di saat ujian berlangsung. Untungnya teman saya tak merasa terganggu dengan sikap saya yang cenderung offensif, itulah gunanya teman, selalu bisa diandalkan dalam keadaan terdesak.
Beberapa saat kemudian, ujian sesi berikutnya dimulai. Tak ada pelajaran yang saya bawa ke dalam ruang kelas. Yang saya bawa hanyalah obrolan tentang band-band metal bersama teman di warkop. Saat soal di bagikan saya merasa tenang dan cuek, dan yang terjadi adalah saya mengingat kata-kata teman saya yang baru saya dengar beberapa jam yang lalu “Real Man anti lama-lama dikelas” saya pun menyetujui hal itu dan mengerjakan ujian kedua dalam kurun waktu hanya sepuluh menit.

Sesi terakhir adalah sebuah bencana, hal yang sangat saya benci keluar sudah. Tak ada yang saya mengerti dari soal-soal yang ditampilkan. Sekalipun hanya dua soal yang harus dijawab. Ini adalah hal terbodoh yang pernah saya lakukan. Pesan moral dari tulisan saya adalah jangan meremehkan segala sesuatu jika tak ingin seperti saya. Udahlah capek

Aljabar: Menjabarkan Diri Sendiri




Catatan seorang penonton lakon Aljabar.

Lampu panggung menyala, terlihat seorang lelaki setengah baya duduk sedang menyelesaikan lukisannya, dan seorang perempuan yang mulai mengantuk dan terus mengajak untuk tidur. Mereka berdua adalah pelukis yang sedang mencapai titik kejenuhan dalam mengahadapi kegelisahan hidupannya. Melalui lukisan, mereka menuangkan seluruh kegelisahan itu.

Namun ketika mereka mencoba untuk melukiskan dirinya sendiri, hasilnya pasti kabur dan tidak sesuai dengan  yang mereka inginkan. Sampai pada akhirnya mereka sadar bahwa mereka belum bisa memahami dan memaknai dirinya sendiri. Dengan hidup yang begitu singkat, mereka pesimis untuk dapat mengetahui arti hidup mereka.

Dua pelukis yang diperankan mencoba untuk mewakili kegelisahan masyarakat saat ini. Masyarakat terkadang menjadi tidak berdaya menghadapi kerasnya persaingan hidup dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sampai pada akhirnya, mereka hanya bisa meratapi kegelisahannya dan menyalahkan kehidupan sebagai biang keladinya.

Lakon yang dibawakan oleh Teater Cinta Lakon ini merupakan representasi mereka terhadap kehidupan masyarakat saat ini. Lakon Aljabar menjadi menarik karena mereka sedang menjabarkan tentang kegelisahan yang mereka rasakan dalam sebuah lukisan. Menjabarkan diri sendiri berarti memahimi diri sendiri secara keseluruhan. Dengan mengenal diri sendiri, tentu akan lebih mudah untuk menikmati kegelisahan yang sedang melanda.

Menelanjangi Makna I Love You


Semua orang tahu apa makna I Love You. Tapi apakah I Love You akan tetap pada maknanya jika susunan di dalamnya dilucuti satu persatu hingga telanjang?

Sekarang saya ingin coba menelanjanginya, dengan cara melucuti huruf-huruf yang membentuk kalimat itu, yang membuatnya memiliki makna.

Pelucutan ini dilakukan dengan dua cara dan sembilan tahap. Cara pertama, dengan menghapus huruf-hurufnya dari depan ke belakang. Cara ke dua, sebaliknya.

Sembilan tahap tersebut seperti di bawah ini:

1) I Love You
2) Love You
3) ove You
4) ve  You
5) e You
6) You
7) ou
8) u
9)

Barusan saya menghapus huruf-huruf dalam kalimat "I Love You" dengan cara pertama (dari depan). Sekarang saya ingin coba menghapusnya dengan cara ke dua (dari belakang).

1) I Love You
2) I Love Yo
3) I Love Y
4) I Love
5) I Lov
6) I Lo
7) I L
8) I
9)

Coba simak hal di atas dengan seksama. Kalimat itu menjadi bentuk-bentuk baru, menjadi makna baru. Tapi, menelanjanginya dari depan atau belakang, di tahap kesembilan, yang ada hanyalah kekosongan. Lalu apa?

Ransel

Jika engkau seorang guru
Timbanglah isi ransel Ku
Dengan begitu kau tak akan pernah tahu
Seberapa berat pikiran Ku
Karena keterbatasanmu
Tak akan mampu menimbang ketidakterbatasan Ku

Minggu, 28 Oktober 2012

Nasionalisme, untuk Negara ini adalah Pertanyaan


Hari ini, hampir semua orang di Indonesia melakukan cara memperingati sumpah pemuda dengan mengisi kemerdekaan. Sebuah langkah yang meluncurkan dua pertanyaan dari saya pribadi, apakah benar nasionalisme di Negara ini hanya berlangsung pada 17 Agustus serta 28 Oktober? Dan saat kebudayaan Indonesia di klaim oleh Malaysia. Yang saya liat sepertinya demikian.

Dalam pelajaran SD yang bernama PPKN (Pendidikan, Pancasila dan kewarganegaraan), kita sering mendengar bagaimana mengisi kemerdekaan. Seperti menyambung cita cita bangsa, belajar dengan tekun untuk meraih cita-cita, berpartisipasi dalam membela negara dan masih banyak lagi. Kenyataan yang ada justru hampir tak semua poin-poin di atas bisa dipenuhi oleh banyak orang  (termasuk saya peribadi). Semua orang telah sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

Siang tadi di twitter, “Selamat Hari Sumpah Pemuda” menjadi trending topic.Hal ini menunjukan kesemuan nasionalisme orang-orang Indonesia yang hanya bisa mengisi nasionalisme dengan bicara atau menjadikan hal itu sebagai Tren Populer, atau yang paling menyedihkan jika mereka berusaha untuk mewujudkan “Selamat Hari Sumpah Pemuda” sebagai Trending Topic nomor satu di Twitter, untuk membuktikan kepada dunia virtual kalau hari ini adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia? Lantas jika dunia sudah tahu, mengutip pertkataan teman saya yang popular “ terus kenape?”.

Atau beberapa waktu yang lalu, ketika semua orang mendadak menjadi sosok-sosok Nasionalis saat kebudayaan Indonesia diklaim oleh Malaysia. Semua orang mendadak menjadi marah dan anti terhadap Malaysia, celotehan tentang “Ganyang Malaysia”, membakar bendera Malaysia, sampai membuat akun page di Facebook yang berjudul “Anti Malaysia”. Apa yang mereka hasilkan dari aksi-aksi tersebut? Omong kosong dan sinisme yang berlebih muncul ke permukaan. Sebetulnya ada solusi yang cukup baik bila kita benar-benar benci dan anti terhadap Malaysia. Kenapa mereka tidak mendatangi Kedutaan Besar Malaysia dan membakarnya? Itu adalah saran yang kongkrit dari saya daripada terus berteriak-teriak anti Malaysia.
Ini adalah sebuah pandangan saya, semua orang pasti akan berbeda pendapat dengan saya. Dan saya akan menerima itu. Maaf jika tulisan ini terlalu ofensif dan menyindir beberapa pihak. Jika memang ada pihak yang tersinggung oleh tulisan ini, saya pribadi tak peduli.

Ps : Tulisan ini akan semakin nikmat bila dibaca sambil mendengarkan Kenyataan Dalam Dunia Fantasi – Koil. Saya menyarankan hal ini bukan semata saya adalah fans Koil, melainkan sebuah perpaduan yang pas antara kedua hal tersebut.

Masih Layakkah Memperingati Sumpah Pemuda?



Pertama   : Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah   Indonesia.

Kedoewa  : Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Ketiga      : Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Apakah Anda masih ingat isi dari sumpah pemuda? Blablabla.... Saat ini sumpah pemuda tidak lebih dari sebuah slogan palsu, yang pada akhirnya kita semua telah melanggarnya. Ya, kita semua telah menjadi pelacur. Pelacur yang malang, yang menjajakan dirinya untuk mendapatkan nilai tukar yang sepadan, atau lebih tepatnya yang menguntungkan.

Kami, putra-putri Indonesia, yang selalu bangga terhadap Indonesia hanya dalam kata-kata, hanya dalam ucapan. Rakyat Indonesia meneriakkan cinta Indonesia. Saya pun meneriakkannya. Tapi, tak terlihat adanya perbuatan nyata. Atau mungkin saya yang kurang peka?

Kami, putra-putri Indonesia berbangsa satu, bangsa yang apatis ketika para kapitalis asing terus menghisap darah bangsa ini. Putra-putri yang semangat membela rakyat ketika muda dan lupa setelah dekat dengan penguasa. Power tends to corrupt.

Kami, putra-putri Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa yang dimengerti dari media massa dan enggan membongkarnya. Hanya terus menerima tanpa memperbarui intelektualitas dalam diri sendiri. Kami, putra-putri Indonesia yang hidup dalam mitos-mitos yang diciptakan melalui bahasa media massa.
Kami, putra-putri Indonesia yang perlahan akan menjadi tua dan bersenang-senang sebagai penguasa. Lupa dengan perjuangan ketika muda. Dan memang nyatanya sumpah ini hanya berlaku bagi pemuda. Setelah tua, langgar saja. Toh, tak ada kutukan yang membuat sumpah ini menjadi sakral.

Masih kurang lacur apa? Mudah-mudahan masih ada putra-putri Indonesia yang mempunyai dan menyebarkan harapannya tentang Indonesia kepada orang yang (kadang) sinis seperti saya.

Sabtu, 27 Oktober 2012

Beberapa Jam menjelang Derby Merseyside....


Derby (pertarungan kedua tim sekota) merupakan suatu hal yang biasa terjadi pada pertandingan sepak bola.Pembuktian menjadi yang terbaik di kota tempat sebuah klub berada seakan menjadi harga mati. Rivalitas bisa saja bermuara pada kecemburuan prestasi, status sosial masyarakat sebuah kota, atau yang paling parah adalah masalah agama. Seperti yang terjadi di Derby Old Firm (Glasgow Rangers vs Glasgow Celtic di Liga Skotlandia).

Sangat banyak derby yang sarat akan gengsi dan emosi, sebut saja derby Manchester, derby Della Madoninna, derby Della Capitale, dan dua derby yang akan terjadi beberapa jam nanti Merseyside derby dan Little Derby London (Arsenal vs QPR). Merseyside derby adalah derby paling menarik dan ditunggu (setidaknya untuk malam ini). Karena akan menjadi pertaruhan siapa pemilik kota Liverpool untuk hari ini.
Menilik dari statistik pertemuan, Liverpool jelas diunggulkan daripada Everton. Dari tabel  klasmen sementara Barclays Premier Legue (BPL) Everton Berada di Peringkat empat, sementara Liverpool masih mencari kenyamanan tempat di papan tengah. Namun hal ini tak menjadikan rivalitas kedua tim menjadi lembek. Gengsi tetap akan menjadi suguhan yang menarik beberapa jam lagi.

Sejujurnya, kedua fans dari kedua tim merupakan fans yang sabar. Terbukti dengan dukungan fans yang tak pernah surut saat Liverpool maupun Everton melakukan pertandingan dimanapun. Khusus untuk Liverpool, fans merekalah yang amat sabar, mengutip perkataan seorang kawan di Twitter beberapa waktu lalu “Gara-gara wasit, Liverpool jadi kalah lawan United. Selama sebulan gua harus makan Mie sama Energen nih,”. Entah kesabaran atau sikap pasrah

Bila dilihat pertandingan nanti malam adalah pertandingan derby yang bersahabat. Karena banyak anggota keluarga kedua supporter yang membagi dukungan untuk kedua kesebelasan. Artinya,  warna merah dan biru akan saling berdampingan di tribun penonton. Sebuah hal yang amat jarang terjadi di laga derby. Sekalipun ada, itu bukan laga derby, melainkan sebuah pernyataan semu sebagai “saudara sedarah” yang kerap dilontarkan supporter Persija Jakarta dan Arema Indonesia.

Di kampus tercinta, sangat banyak Mahasiswa / I yang mengenakan Jersey Liverpool. Hampir disetiap sudut kampus saya melihat fenomena itu. Sebuah fanatisme yang luar biasa (ataukah ingin dipandang garang dengan warna merah khas Liverpool ? Entahlah). Yang jelas, setiap saya mengenakan Jersey Everton di kampus, selalu ada stigma negatif dari mereka. Sampai pernah ada kejadian seorang Liverpooldian Meneriakan saya “We are Evertoniaaaan”, Fuck Sekali. Namun itu hebat. Dan saya bisa mengkoreksi satu hal, Liverpooldian tadi bukan merupakan fans sejati Liverpool, Karena ia telah berkata “We are Evertonian”.

Prediksi dari Koran Olahraga terkemuka menyebutkan peluang kedua tim 50-50, yang berarti kedua tim seimbang. Ini sangat tepat. Derby tak melulu melihat sebuah peringkat, penurunan permainan, cidera pemain, ataupun skorsing pemain. Derby tetaplah derby. Derby adalah sebuah rivalitas yang tak akan usai sampai kapanpun. Karena bagi mereka yang melakukan derby mungkin akan memiliki stigma berikut “masih ada darah yang harus dibayar”

Obrolan Kampungan

Kemarin malam saya bertemu dengan seorang teman yang hendak berangkat bekerja. Berhubung saya sudah lama tak mengobrol dengannya, saya ajak lah dia mengobrol sebentar dengan iming-iming janji menggunakan satuan waktu sebatang rokok. Ia pun mau.

Kami ngobrol ngalor-ngidul. Tak lagi sebatang rokok. Hingga akhirnya sampai pada sebuah obrolan berikut:

T (Tio): gua pengen nyari cewek nih.
S (Saya): cewek mulu luh!
T: kapan "mulu"?
S: kan emang setiap ketemu gua, lo selalu ngomongin itu-itu aja. Kalo gak lagi deket sama cewek, ya pengen nyari cewek.
T: hehehe... Kalo lo gimana sama cewek lo?
S: gua gak punya cewek, punyanya kekasih.
T: emang apa bedanya?
S: kalo tadi lo bilang "cewek lo", itu berarti soal kepemilikan. Gua gak tertarik.
T: yaudah, kekasih, deh. Kekasih lo gimana?
S: ...

...
....
.....
......
.......
Ya Tuhan, lindungilah hamba dari obrolan kampungan semacam itu.

Kontemplasi (singkat) tentang Media



Media massa adalah sumber informasi bagi masyarakat yang memiliki peranan yang besar dalam meredakan atau bahkan menciptakan konflik sosial dalam kehidupan. Tak hanya mengatasi konflik sosial, peranan media jauh lebih berat ketika harus mengajak khalayak untuk berpikir dan bersikap kritis, yang tidak hanya larut dalam informasi. Tugas media bukan hanya sekedar fashion, mode musiman.

Peranan media massa, dalam negara yang menganut paham demokrasi adalah sebagai pilar ke-empat demokrasi, seharusnya bisa menyelesaikan perselisihan sosial yang terjadi justru semakin memperkeruh suasana melalui isu-isu yang tidak jelas asal-usulnya. Untuk mengatasinya, pihak yang berperan sebagai media harus memegang teguh etika dan kode etik yang berlaku dalam setiap menjalankan tugasnya. Pesan yang disampaikan pun (harusnya) memiliki makna dan efek terhadap kehidupan sosial, bukan hanya membungkus realita dengan simbol-simbol untuk mencari sensasi sepintas lalu –apalagi sekedar fashion. Melalui media massa yang ideal, konflik akan terselesaikan dan kebenaran akan terungkap.

Tentu, tak semua media massa bisa meredakan konflik yang terjadi. Tidak semua media massa mengajak masyarakat berpikir kritis. Pada realitanya, memang lebih banyak media sebagai fashion, yang menyebar informasi-informasi musiaman untuk cari sensasi. Lebih banyak media sebagai pemicu konflik. Namun, selalu ada harapan dari setiap kegelisahan. Ketika media massa tak bisa menjadi pegangan untuk mendapatkan informasi, ya, sudah saatnya kita sebagai masyarakat bersikap independen dan tidak berpihak pada kepentingan apapun, tentu dengan sikap kritis.

Sebagai masyarakat yang setiap hari menerima informasi melalu media massa, memiliki sikap kritis adalah sebuah kewajiban. Tentu, dengan mengkritisi informasi yang diberikan dan tidak langsung menerima setiap informasi dari berbagai media, membuat kepalsuan yang diberikan melalui simbol media akan terbongkar. 

Media massa hanya menciptakan simbol, sementara khalayaklah yang memaknai simbol-simbol yang diberikan oleh media. Masyarakat yang tidak kritis akan hidup dalam kepalsuan simbol-simbol yang diciptakan oleh media. Mereka yang mendapatkan informasi hanya untuk fashion pun akan tetap bergembira merayakan kepalsuannya. Dan tentu, sebagai masyarakat, sudah menjadi pilihan untuk tetap hidup dalam mitos yang diberikan media atau bersikap kritis untuk membongkar mitos dari simbol-simbol yang diciptakan oleh media.

Jumat, 26 Oktober 2012

Evrything is Fashion



Tidak ada yang salah dengan menulis, menulis merupakan tindakan yang bisa dibilang alamiah, semua orang mampu menulis apapun, dimanapun, kapanpun dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketika seseorang mulai merasakan kegamangan dalam hidupnya, ia pasti akan mencari pelarian. Entah dengan berdoa kepada tuhan, bercerita, menulis lagu, menulis dalam diary (mungkin), atau menciptakan dimensi sendiri dengan tulisan-tulisan yang dibuatnya, yaitu dengan membuat tulisan yang bisa membuat dirinya bahagia (terlepas dari penilaian orang-orang tentang tulisannya).

Semakin banyaknya bacaan yang diupload di kanal-kanal dunia maya (facebook, twitter, blog, dan situs situs sosial lainnya), akan membantu kita dalam mengetahui informasi (walaupun tulisan tulisan yang dibuat belum tentu berbobot dan mengedukasi). Minat membaca memang sedang mengalami kemunduran (khususnya mahasiswa/i), Namun ini perlu diluruskan. Mahasiswa-mahasiswi akan lebih percaya dengan media-media populer (baik cetak maupun elektronik) dan banyak dibaca orang-orang. Hal itu bukan merupakan hal yang salah, namun lebih kepada perbedaan presepsi (persepsi tak akan pernah salah, itu menurut dosen teori komunikasi di kampus saya).

Penulis akan selalu egois. Namun egois belum tentu berstigma negatif. Kesalahan presepsi egois yang perlu dibenarkan. (pahamilah pelajaran psikologi komunikasi sebelum anda mengkritisi arti ego, disana banyak membahas tentang ego). Setiap orang bebas memberikan komentar atas apapun. Namun, hal yang perlu digaris besarkan adalah semua komentar yang masuk tak perlu dicerna secara serius, sang pembuat sesuatu atau penulis tentu memiliki hak untuk membahas komentar tersebut atau tidak. Masalah sombong atau egois (yang negetif) itu adalah sebuah presepsi sang komentator. Dan pada akhirnya saya kembali menegaskan, apapun yang kita lakukan hanyalah fashion.

Menelusuri Arti Ngentot

Saya ingat kejadian beberapa hari lalu. Waktu itu saya dengan beberapa orang sedang dalam obrolan kecil mengenai Kartu Remi. Tiba-tiba seorang perempuan bernama Addis menyebut "Kebo". Saya dan yang lainnya bingung. Apa maksudnya.

Setelah Addis jelaskan, rupanya apa yang ia maksud "Kebo" adalah apa yang kami sebut "Waru" (sebuah simbol yang ada dalam kartu remi). Sontak kami tertawa dengan keanehan itu.

Tapi sebetulnya tidak ada yang salah dari itu semua. Kata-kata, meskipun maksudnya sama, selalu memiliki arti yang berbeda. Kata "Kebo" yang Addis sebutkan, berkaitan erat dengan kultur.

Addis hanya hidup di kultur yang berbeda dengan kami.

Maka kata-kata tidak bisa hanya dipandang sebagai kata-kata. Bukan hanya menunjukkan kultur, kata-kata juga menunjukkan identitas lain seperti kepentingan, citra, dan semacamnya.

Contoh lain, misalnya, seorang guru Biologi tentu saja lebih mungkin menyebut "Penis" (atau kalau diperhalus lagi, mungkin "kemaluan pria") daripada menyebut "Peler" atau "Kontol". Sebab "Peler" dan "Kontol" adalah bahasa pergaulan "anak muda".

Pada kasus Soekarno dan Soeharto, lebih jelas lagi. Soekarno lebih suka dipanggil "Bung". Kata itu bertujuan agar terdapat suasana egaliter. Tapi Soeharto, ia menginginkan dirinya dipanggil "Pak" (Pak Harto), begitu terasa ada hirarkis.

Dapat disimpulkan, kata-kata yang digunakan seseorang, selain berfungsi untuk komunikasi, juga berfungsi menunjukkan identitas diri.

Nah, itu artinya, penyebutan "ngentot", "ML", dam "bersetubuh" juga memiliki arti yang berbeda.

Barusan, saya iseng mencari definisi dari kata "ngentot" di pusatbahasa. Ini hasilnya:

Klik gambarnya untuk memperbesar.

Nihil. Hasilnya nihil.

Saya pun mencarinya di twitter, tempat orang-orang banyak berbicara. Ini hasilnya:

Klik gambarnya untuk memperbesar.

Sudah. Begitu saja.

Qurban


















bersabarlah Domba
bersabarlah Kambing
bersabarlah Onta, Kerbau, dan Sapi
saya tahu betul
kalian selamanya tak akan pernah mengerti
kisah-kisah Nabi

bersabarlah
sebab empedu Kambing
kalau di makan mentah-mentah
kata teman saya,
rasanya begitu pahit!

salahkan langit
salahkan langit
salahkan langit
yang waktu itu menukar tubuh manusia
menjadikannya tubuhmu

kalau tidak begitu
mungkin saja teman saya justru makan biji pelir manusia

terimakasih
kau menyelematkan kemungkinan yang paling mengerikan, yang paling pahit
yang tak terbayangkan
terimakasih

Menulis (Bukan) Sekedar Fashion


Ilustrasi: blogspot.com

Menulis, yang katanya telah menjadi fashion, ternyata adalah pekerjaan yang sangat mudah untuk dilakukan. Apa yang sedang Anda pikirkan? Tuliskan saja pada selembar kertas –atau di-update di jejaring sosial- lalu Anda akan mendapatkan apresiasi. Apalagi bila dibumbui dengan kata-kata ngawur ditambah motivasi-motivasi dari hasil kontemplasi instan, tentu ratusan “like” akan hinggap di tulisan Anda.

Dengan banyaknya update status di jejaring sosial, bisa dipastikan bahwa minat menulis masyarakat sangatlah besar. “Menulis sudah menjadi fashion!” begitu kalau meminjam perkataan teman saya. Semua orang suka menulis, layaknya berbicara. Semua bersuara. Semua orang ingin mendapat apresiasi.

Namun, berapa orang yang mau membaca sebuah tulisan? Berapa orang yang lebih senang mendengarkan daripada berbicara? Keadaan ini menjadi tidak seimbang ketika tulisan-tulisan semakin banyak, namun minat membaca justru semakin berkurang. Keinginan menulis agar dapat diapresiasi secara prematur membuat mental masyarakat menjadi lemah. Mereka cenderung akan puas ketika telah mendapatkan apresiasi dan tak lagi mencari referensi untuk bahan tulisannya. Semua orang dengan cepat menjadi “penulis” tanpa mau membaca tulisan orang lain. Bukankan begitu egois?

Keegoisan yang berlebihan akan melahirkan persepsi bahwa tulisan kita adalah sebuaah kebenaran, yang tak bisa untuk dikritisi. Tapi ingat, tulisan tanpa referensi bacaan yang kuat akan menjadi kering dan sangat mudah untuk dipatahkan –seperti apapun Anda mempertahankan tulisan Anda, namun selalu ada antitesis dari sebuah tesis. Jika membaca hanya bersumber pada status-status jejaring sosial, dengan sangat menyesal saya katakan, betapa miskinnya referensi bahan bacaan kita. Dan tentu saja, tulisan seperti itu hanya akan menjadi fashion tanpa ada pesan yang ingin disampaikan kepada pembacanya. Fashion menulis seperti itu hanya akan menjadi fashion kering tanpa makna –yang biasa dijumpai di layar televisi. Bila menurut Anda menulis hanyalah sekedar fashion, maka tak ada yang salah dari tulisan Anda yang tersebar di jejaring sosial.

Kegiatan menulis hanya untuk mendapatkan apresiasi memang sangat mudah untuk dilakukan. Kegiatan menulis menjadi sulit ketika dalam tulisan itu dituntut untuk memiliki makna dan pesan yang jelas serta memberi efek pada kehidupan sosial –paling tidak kepada orang yang membacaya.




Tulisan ini ditanggapi Oleh Heri Susanto.

Kamis, 25 Oktober 2012

Penyayang Binatang

Setiap kali aku panggil kamu anjing
Kamu selalu marah
Sayang,
Sebetulnya kamu ini binatang apa?

Mereka Adalah Tuhan

Hari ini, ketika semua keadaan tak lagi berpihak kepada seseorang. Pasrah seakan menjadi sebuah jawaban. Karena pemberontakan hanya akan membuat pola pikir menjadi bodoh. Pengkhianatan seakan menemukan sebuah makna, cinta menjadi suatu yang terlupakan. Dikala matahari mulai tenggelam, malam seakan enggan menjelang.

Kulajukan sepeda motor kreditku dengan sangat lamban, seakan tak peduli dengan keadaan sekitar. Aku merasa semua orang menertawaiku, namun pedulikah aku? Mereka seolah menjadi tuhan atas diriku, mereka berkata seenaknya, membabi-buta mencerca. Dan mungkin berpikiran akan menghukum diriku. 

Dengan segala cara, aku beruhasa untuk tak menghindar dari kenyataan. Merenovasi pemikiran dengan cara membaca kitab-kitab suci yang terasa tak lekang oleh zaman. Sekalipun hanya mengartikan sesaat, namun terasa bermakna.

Mereka yang mengaku tuhan biasanya akan semena-mena, tak peduli omongan orang. Merekalah yang terhebat, terbaik, terbenar. Penggunaan akal pikir berlebih tentu akan membahayakan diri sendiri, stigma ateis  sudah barang tentu akan menjadi label orang-orang tersebut.

Dari segala jenis keabsurdan yang melekat, selalu tersimpan pembenaran yang (mungkin) hakiki. Itulah mereka, mereka akan selalu seperti itu. Entah sampai kapan, selang waktu pun seakan tak mampu untuk menjawab.

Surga dan neraka hanyalah mitos untuk mereka, teologi seakan angin lalu, kitab suci seperti lembaran pengumuman yang tak berguna. Tuhan telah mati bagi mereka, merekalah tuhan.

Menghayati Melankoli, Menghayati Hidup


Saya sedang cukup malas menulis dan berpikir. Tapi agar proyek blog ini tetap berjalan, mau tak mau saya harus mempublikasi tulisan. Oleh karena itu, di postingan ini saya hanya ingin menyampaikan kembali renungan saya tentang lirik lagu Melancholia (Efek Rumah Kaca) yang pernah saya share di twitter, beberapa waktu lalu, dengan ditambahkan sedikit pembuka.

_______________________________________________________________________________

Cinta bukanlah tema baru dalam ranah musik. Begitu juga dengan kegundahan. Ia memiliki keterkaitan erat dengan cinta.

Dalam lagu Melancholia ciptaan Efek Rumah Kaca, Cholil (vokalis sekaligus penulis lirik) menawarkan cara baru dalam mengatasi kegundahan.

Simak liriknya berikut ini:

Tersungkur di sisa malam
Kosong dan rendah gairah
Puisi yang romantik
Menetes dari bibir

Murung itu sungguh indah
Melambatkan butir darah

Nikmatilah saja kegundahan ini
Segala denyutnya yang merobek sepi
Kelesuan ini jangan lekas pergi
Aku menyelami sampai lelah hati


1) Lirik itu menawarkan cara lain dalam memandang depresi. Cara untuk menyikapi rasa, bukan sesuatu yang menimbulkannya.

2) Karena itu, dalam liriknya tak ada objek "siapa" atau "apa" yang membuat murung. Sebab barangkali memang itu gak penting-penting amat.

3) Bagi ERK, justru yang lebih penting adalah "rasa" itu sendiri.

4) Sudah jelas, "nikmatilah saja kegundahan ini", sebuah penghayatan (bukan penolakan) terhadap kegundahan, terhadap hidup.

5) Atau, "murung itu sungguh indah, melambatkan butir darah". Seperti sesuatu yang membuat "ada", dan "hidup": sebuah keindahan.

6) Tapi meski begitu, "siapa" atau "apa" ini bukan tidak penting. Ia tetap ada: sebagai sesuatu untuk diterima seutuhnya, bukan untuk dihindari, dikoreksi, dipersalahkan. Tapi untuk dihayati, bukan diakali, bukan dihindari.

7) Karena ia (si "siapa" atau si "apa") adalah yang menciptakan "rasa" itu (mungkin depresi, mungkin kecemasan, kegundahan, atau keresahan), sekaligus keindahan.

8) Intinya. seperti kata orang, mungkin dunia ditakdirkan untuk tidak baik-baik aja. Tapi buat apa ngeluh? Nikmatilah! (setidaknya dalam hal cinta).

(Delapan poin di atas adalah salin-tempel dari twitter saya)

Sajak Pendiam


Aku diam
Aku diam tak mendengar
Aku diam bagaikan musik yang berdentang keras
Aku diam dan menikmati kesunyianku

Aku melihat orang-orang bersuka cita tanpa tujuan
Aku melihat mereka yang kebingungan dan tetap berjalan
Aku melihat mereka yang mempunyai harapan
Aku merasakan dunia yang terus berputar
Tapi aku hanya bisa diam
Gelisah
Diam menikmati kegelisahanku

Lalu aku bangkit
Aku bangkit menghampiri aliran sungai yang deras
Aku mencicipi airnya
Bangsat!!
Airnya pahit
Kurasakan pahitnya
Namun aku tak kuat
Lalu aku kembali diam
Menyerah

Aku berbaring menatap hitam
Gelap tak ada suara
Tak ada udara
Namun begitu tenang
Kunikmati ketenangan dalam gelap
Kurasakan kenyamanan dari setiap kata yang tak jadi keluar
Dan aku masih berdiam

Aku duduk dan masih terdiam
Masih gelap
Masih diam
Tak ada harapan
Hanya bisa melihat mereka yang kegirangan
Melihat mereka yang melawan
Melihat mereka yang mempunyai harapan
Tapi aku akan tetap diam dan menikmati gelap
Entah sampai kapan...

Jakarta, Oktober 2012

Rabu, 24 Oktober 2012

Perbuatan, Tanda yang Paling Ideal



Mengajak seseorang untuk melakukan sesuatu adalah hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Sang pengajak paling tidak harus memiliki pembawaan yang baik agar khalayak yang diajak mempercayai ajakannya. Pembawaan, wibawa, adalah hal yang sulit –namun bukan berarti tidak bisa- untuk ditumbuhkan.

Menumbuhkan wibawa tidak bisa hanya mengandalkan kata-kata (bahkan tulisan ini sekalipun tidak serta-merta membuat saya lebih berwibawa dari Anda). Perbuatan. Ya! Hanya perbuatan, sebagai tanda yang paling ideal, yang bisa menumbuhkan wibawa seseorang. Seseorang menilai orang lain melalui perbuatannya, bukan kata-katanya –meski dalam tulisan. Sebuah hal klise dan disadari banyak orang, namun hanya sedikit orang ynag mampu melakukannya secara konsisten.

Jika harus mengambil ajaran dari para orang tua, mereka selalu menyuruh kita untuk membenahi diri sendiri baru, setelah benar, mengajak orang lain untuk berubah. Mungkin benar seperti harus seperti itu, tapi lantas harus sampai kapan menunggu perubahan terjadi bila diri sendiri pun tak pernah bisa untuk mencapai kesempurnaan yang tidak perlu lagi untuk dibenahi? Sampai kematian menjelang? Sampai mereka sadar untuk membenahi diri sendiri dan bersifat apatis terhadap yang lain?

Tak perlu menjadi sempurna untuk mengajak orang lain untuk berubah. Yang diperlukan hanyalah konsistensi untuk membuat perubahan (ini bukanlah iklan partai politik yang membuat slogan perubahan yang entah apa tujuannya) itu bersama-sama. Dengan mengajak orang lain untuk berubah, setidaknya kita dapat menjadi lebih baik lagi melalui proses itu. Tak perlu citra yang berlebihan, tak perlu pembawaan yang palsu. Hanya perlu melakukannya dengan perbuatan, karena perbuatan adalah ajakan yang paling ideal. Citra itu akan tercipta dengan sendirinya.

Menulis adalah perbuatan. Bicara juga perbuatan. Lalu apa lagi yang harus diperbuat? Menulis dan membaca adalah perbuatan menciptakan tanda lain untuk melakukan sebuah langkah konkret. Lalu apa langkah konkretnya setelah menulis dan berbicara? Tentu melakukannya dengan konsisten. Menulis dan berbicara hanya akan menjadi konsep matang yang sangat sayang bila tak diberikan langkah yang konkret. Dan tentu saja, langkah konkret tanpa sebuah konsep adalah sesuatu yang mudah untuk ditunggangi. Sudah siap berubah? Ah, mungkin waktunya belum tepat.

Noah, Band yang (Belum) Fenomenal Itu

Noah merupakan sebuah band baru, suka atau tidak, mau tidak mau (terlepas dari mereka adalah mantan personil Peterpan). Skandal video seks Ariel, ekspos media ke jeruji besi tempat sang vokalis mendekam, penyambutan kebebasan Ariel dari Hotel Prodeo nan dingin dan sesak, launching buku Kisah Lainnya, serta tour lima negara dua benua sejatinya hanya bumbu untuk memacu angka penjualan album yang diissukan harus mencapai tiga juta kopi dari Musica Studio (label Noah bernaung). Layakkah sebuah band baru ditargetkan penjualan album yang sedemikian dahsyatnya?

Melihat materi lagu di album Seperti Seharusnya, Noah mustahil bisa mengulang kesuksesan album Bintang Di Surga milik Peterpan yang dirilis medio 2004. Hampir semua lagu di album Bintang Di Surga merupakan sebuah hits, dan hampir seluruh lagunya dibuatkan Video Clip. Album Noah yang dirilis baru-baru ini bisa jadi merupakan sebuah langkah blunder. Ciri khas Ariel nampak tak terlihat di album ini. Yang ada hanya sisa-sisa kejayaan yang nampak di album ini. 'Separuh Aku' masih membawa warna Peterpan dengan sedikit polesan sound yang megah. 'Raja Negeriku' merupakan lagu terbaik di album ini, sangat liar dan megah. Dan disertai pidato Soekarno di akhir lagu.

Tiga juta kopi di tahun 2012 adalah hal yang “mungkin“ tak masuk akal. Maraknya pembajakan, free download, serta lesunya penjualan album fisik telah menjadi bukti. Saya pun memliki sebuah full album dengan cara mendownload, ironis. Akankah Musica sedang sepi penjualan? Sepertinya tidak. Mengingat katalog musisi yang bernaung dibawah Musica merupakan musisi-musisi yang potensial. Nidji, Geisha, d’ Massiv, Letto, Vierra, dan baru-baru ini Astoria (project dari Uki, gitaris Noah).

Apakah ini memang ketamakan Major label ataukah sebuah langkah ofensif untuk menghidupkan kembali rilisan fisik? Ataukah ini langkah berani atau bunuh diri? Yang jelas, pengulangan “mungkin“ akan menemukan maknanya. Dan saya nampak sejutu ketika semua jurnalis dari majalah populer maupun lokal menuliskan review tentang Noah, mereka selalu mengkaitkan Noah dengan Peterpan, band yang fenomenal itu.

Tentang Kerinduan yang Tak Menemukan Tujuan


Aku telusuri kamu dari panjang siang, yang lengking mengerang rindu tentang hujan. Tapi kamu tak ada. Barangkali kamu memang tak nyata.

Kadang kalau kemudian debu-debu menyapu trotoar, aku titipkan padanya rindu supaya terbang tanpa menuju, sementara orang-orang menutup hidungnya, mobil-mobil menutup kacanya.

Tapi rindu hanya rindu seperti semua orang tau: lamunan yang terus berdetak di tik-tik hujan, renungan yang kian lapang, atau hal-hal yang membuat nyaring klakson kereta. Ia meminta menagih, satu hal yang membuatnya tabah atau bahkan gegabah.

Sesekali aku seenaknya menebakmu: mungkin kamu berada di atas batu koral pada sebuah sungai, menari-nari mengikuti bunyi arusnya yang perih. Atau mungkin kamu di pinggir gelas kopi setengah isi yang baru saja ditinggal pergi, seorang laki-laki buru-buru sambil melihat arlojinya di tangan kiri.

Kerinduanku diredam sebuah ingatan. Waktu itu temanmu pernah berkata, "dalam lakon, kita harus tak jadi diri sendiri". Ah mungkin kamu justru sedang mencari-cari, apa itu "lakon", apa itu "diri". 

Sementara rinduku tanpa menuju. Ia meminta menagih, satu hal yang membuatnya tabah atau bahkan gegabah, hingga tengadah.

Selasa, 23 Oktober 2012

Sajak Rokok Putih


Di sore hari yang cerah, di kampus yang tercinta (huaaaaaaah….), saya sedang menikmati sebuah rokok putih yang hangat beserta sebuah kopi hitam lokal terbaik. Tiba-tiba seorang kawan menghampiri dan berkata. “ Rokok lu kayak orang kaya, kok ngopinya kopi item? Caphuchinno dong harusnya,” sindirnya. 
Lepas itu kami berbicara panjang lebar dan tentunya wasting time.

Keesokan harinya saya kembali membakar rokok putih dan nongkrong bersama kawan-kawan professional time waster, seorang dari mereka mengambil sebatang rokok putih saya dari bungkusnya, “Ini rokoknya Noel (Noel Gallagher, gitaris dari grup Oasis) sama Cobain (Kurt Cobain, vokalis Nirvana), rokoknya musisi ini mah coy.” Saya hanya tertawa.

Beberapa waktu yang lalu. Seorang teman menghampiri dan saya yang sedang merokok rokok putih (lagi) kemudian membuangnya dari hadapan saya, dan mengembalikannya. Orang tersebut adalah orang “yang katanya“  anti kapitalis.

Dari beberapa kasus di atas, dengan sok tahu saya akan memberikan seedikit penjelasan.

Rokok Putih sering dibilang sebagai rokok orang kaya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan stigma seperti itu.

Satu, rokok putih terlihat begitu ekslusif karena tak bisa diketeng (dibeli secara satuan) di warung-warung kelontong. Sekalipun ada, harganya akan lebih mahal (lima ribu rupiah, hanya dapat tujuh batang, tanyakan pada warung  di depan kampus tercinta).

Dua, jikalau diketeng, hal itu akan mempengaruhi rasa yang akan dihasilkan oleh rokok tersebut saat dibakar. Rokok putih akan terasa hambar (tak enak) jika lama terkena angin. Beda dengan rokok lainnya. Yang semakin terkena angin akan semakin enak. Karena pada dasarnya, rokok putih adalah rokok yang terbuat dari kertas yang dicampur aroma saus tembakau.

Tiga, harga rokok putih yang mahal. Sudah barang tentu hal inilah yang menyebabkan stigma tersebut muncul. Bandingkan dengan harga rokok lainnya dipasaran. Jika kita membeli di warung kelontong modern (seperti Alfa dan kawan-kawannya), harga rokok putih mencapai Rp13.500 s/d  Rp 20.000. Warung kelontong sederhana biasanya hanya menjual beberapa jenis rokok putih. Dengan kisaran harga Rp14.000 s/d  Rp15.000.

Keempat, mereka yang borjuis juga menjadi pihak yang menyebabkan “pengeksklusifan” rokok jenis ini adalah rata rata mereka menerapkan standar 4B (Blackberry, behel, belah tengah, black menthol). Hal terakhir bisa jadi acuan. Rokok menthol biasanya menjadi ajang “eksistensi“ untuk para perokok awam untuk sekedar bergaya dan tidak benar benar menyukai jenis rokok tersebut.

Rokok putih dibilang rokok musisi luar negeri karena:

Satu, di luar negeri tidak ada rokok yang terbuat dari tembakau. Karena ada perundang undangan tentang pelarangan pemakaian tembakau pada sebuah rokok. Jelas saja Noel, Cobain atau siapapun tak pernah menghisap jenis rokok lain selain rokok putih. Sekalipun ada rokok dari tembakau, harganya pasti mahal.

Dua, Slash (eks gitaris Guns and Roses) sering memainkan solo gitar seraya menghisap rokok (bisa dilihat di video Sweet Child of Mine). Mungkin hal inilah yang kerap menjadi sebuah acuan tersebut.

Tiga, Sebagian besar produsen rokok putih di negara tercinta ini (Cuih…) berasal dari luar negeri.

Rokok putih juga sering di anggap sebagai produk kapitalis karena berasal dari luar negeri. Namun sebagian besar rokok  putih di Indonesia rata-rata sudah di produksi di daerah daerah di Indonesia. Seperti Jakarta dan Bekasi. Apakah ini masih disebut sebagai produk kapitalis?  Lalu apa kabar dengan celana jeans yang biasa kau pakai setiap hari? Apakah itu bukan produk kapitalis yang selama ini kau benci?