Dalam ajaran Islam, amanah
yang dititipkan seseorang yang sudah disepakati bersama wajib hukumnya untuk
dijaga dan/atau dijalankan. Ketika amanah yang telah diepakati tidak
terlaksana, maka label munafik akan segera menempel di kepala orang-orang yang
tidak menyampaikan amanah itu. Saya diberi kepercayaan untuk menyampaikan
amanah dari seorang kawan. Tentu, sebagai muslim yang kadang patuh pada ajaran
agama dan tidak ingin bermunafik-ria, saya menjaga amanah itu dan berusaha
untuk tidak mengkhianatinya.
Amanah tetap amanah. Kesepakatan
telah tercipta. Alamat tujuan amanah itu sudah diberikan, tinggal bagaimana jalannya.
Terik matahari yang
menyengat, kemacetan lalu lintas terlihat di setiap ruas, serta kesewenangan
pengguna jalan yang selalu senang untuk menyerobot. Ya, ini tentang Jakarta.
Kali ini saya berkeluh-kesah tentang ibukota negara yang bernama Indonesia. Tak
hanya tentang Jakarta, tapi tentang sebuah alamat yang “aneh”. Sebuah alamat
yang diamanahkan kawan saya untuk dikunjungi.
Peta sebagian selatan Jakarta
“Aneh”, karena hampir tiga
jam berputar-putar mengelilingi secuil bagian Jakarta sebelah selatan alamat
itu tak kunjung ditemui. Alih-alih bertanya kepada yang lebih tahu, malah
tersasar entah ke tempat yang semakin membuat linglung. Patokan yang diberikan
adalah supermarket Giant –yang dalam bayangan saya berbentuk giant pula. Namun, nyatanya supermarket
tersebut terselip antara ruko-ruko biasa yang bersarnya hampir sama dengan yang
disebut sebagai giant. Sekali lagi,
saya tertipu oleh sebuah kata.
Setelah perjalanan “panjang”
akhirnya amanah itu dapat tersampaikan. Mungkin ada beberapa hal yang dapat dijadikan
sebagai reminder dari keluh kesah
ini. Pertama, amanah yang telah disepakati adalah kewajiban untuk dipenuhi. Seorang
manusia dipandang bukan karena ucapannya, melainkan perbuatannya. Pun akhirnya
keluh kesah ini lahir, tapi setidaknya amanah itu telah tersampaikan (paragraf
ini adalah sebuah pembenaran).
Kedua, kata Giant tak selalu
bermakna giant. Sebuah kata memang
lazimnya terbentuk dari satu makna yang diinginkan penciptanya. Tapi ketika
kata itu telah lahir, secara bersamaan makna tunggal itu menjadi tak berarti,
mati. Namun, ketika sang pencipta (pemberi amanah) masih ada, tak ada salahnya
untuk bersikap skeptis.
Ketiga, alamat lengkap bukan
jaminan untuk sampai tujuan dengan cepat. Alamat memang petunjuk yang paling
benar, namun bukan berarti yang paling baik –apalagi bila ditujukan kepada
orang-orang yang menghafal tempat, bukan alamat. Pada hemat saya, sebagian
(besar atau kecil, itu relatif) warga Jakarta tidak hafal nama-nama jalan yang
ada. Mereka menghafal tempat-tempat yang populer sebagai patokan untuk pergi ke
suatu tempat. Patokan tempat yang populer, mungkin, bila dipadukan dengan
alamat lengkap, akan penjadi sebuah pentunjuk yang sempurna –walaupun di dunia
tak ada yang sempurna, setidakknya mendekati.
Mungkin sampai di sinilah
akhir keluh-kesah saya –setidaknya untuk saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar