Aku beranjak ke kasir terdekat dan membayar kopi tersebut. "ini aja mas? jadi sembilan ribu lima ratus rupiah" tutur si kasir manis, saya menggerutu dalam hati "kalo dikampus bisa ngopi empat gelas nih, mahal banget". Dan akupun membayar dengan uang pecahan sepuluh ribu rupiah dan bergegas meninggalkan kasir beserta penjaganya yang manis.
aku naik ke lantai dua toko kelontongan itu. Suasananya nampak ramai oleh pemuda-pemudi borjuis yang berbicara apa saja. Mulai dari rumitnya pekerjaan, fashion terkini, sampai tambatan hati adalah tema yang menurutku lumrah. Aku duduk bersebelahan dengan mereka. Aku duduk di dekat etalase kaca yang bersebrangan dengan gedung pencakar langit sambil memandangi jalan raya yang basah. Aku berfikir tentang harga kopi yang mahal tadi, "apakah layak secangkir kopi dihargai hampir sepuluh ribu rupiah? apakah ada pertimbangan sewa tempat untuk menetapkan harga mitos tersebut? atau aku sudah turut memperpanjang hidup para budak toko kapitalis itu dengan secangkir kopi yang kubeli?" entahlah, Kuseruput kopi itu dan kurasakan sensasi rasa yang jauh dari kata istimewa.
Kuhisap batang demi batang rokok putih yang baru kubeli sambil menunggu hujan reda. Aku kembudian mengambil sebuah Zine musik produksi rekan-rekanku dikampus. Hal itu kulakukan untuk membunuh waktuku yang kosong dan melenyapkan kekesalanku terhadap harga kopi tersebut. Namun yang terjadi adalah aku merasa bosan dengan apa yang kubaca. Tapi aku harus mengapresiasi apa yang mereka tulis, Karena dengan adanya Zine produksi mereka, sudah barang tentu akan menambah gairah menulis mahasiswa dikampusku.
Oh tuhan berdosakah caci-maki yang ku ungkapkan tadi?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar