Langit mulai berat. Matahari hening menggelayut, nyaris padam. Di bibir pantai, sebuah Plastik Hitam bermuara. Dipertemukanlah Ia dengan Pasir, oleh Angin yang masih sabar menghembus.
Plastik: kau kira di mana berada kesempurnaan?
Pasir: kesempurnaan?
Plastik: ya! Kesempurnaan. Titik di mana kita menjadi utuh, tak terbelah. Total, sempurna.
Pasir: cinta.
Plastik: apa maksudmu cinta?
Pasir: hidup ini masih berjalan, ditopang oleh cinta. Berjalan, berlari, terjatuh terengah, bahkan lumpuh, semua karena ada cinta. Kekacauan bahkan timbul dari cinta.
Plastik: kau mungkin benar. Tapi bagaimana kaitannya dengan kesempurnaan?
Pasir: menurutmu, apa itu cinta?
Plastik: cinta bagiku, semacam keinginan untuk mengisi, melengkapi, menambal, memberi. Itu saja. Oleh karenanya, cinta ya hanya cinta. Yang jujur, tanpa pretensi.
Pasir: maksudmu?
Plastik: untuk menggenapkan kekurangan atas yang lainnya! Meskipun yang lainnya tak pernah benar-benar genap, total, tak pernah benar-benar sempurna. Maka aku tanya, di mana berada kesempurnaan?
Pasir: hmmm...
Plastik: tapi justru itu, kita hidup. Justru karena totalitas tak ada, kita menjadi hidup. Ketiadaan itu memungkinkan kita terus berusaha mencapai, meski tak pernah tuntas.
Pasir: memang, kalau ada kesempurnaan, hidup kita selesai.
Plastik: ya! Tapi kalau kesempurnaan itu tidak ada, bagaimana kata tersebut bisa ada?
Tiba-tiba terdengar suara langkah. Pelan, kencang, kemudian pelan lagi, dan kencang lagi, tak konstan. Angin datang.
Angin: mungkin saya bukan orang yang paling sempurna untuk kalian. Tapi percayalah, setiap pertemuan memiliki maksud yang sempurna. Untukmu, saya ada. Untuk saya, kamu ada. Kita hadir untuk menyempurnakan satu sama lain. Pertemuanlah yang sempurna. Hanya ada kini, dan kini. Tak ada yang lalu, dan yang akan. Hanya kini. Sempurna.
Angin kembali berhembus. Pasir memburai. Plastik Hitam kembali terbang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar