Tapi aku yakin, pasti ada orang baik di antara mereka yang riuh-ribet es-o-ti-ar di Jakarta yang kita cinta sekaligus kita love dan kita benci sekaligus kita hate ini.
Hmm soal Jakarta, aku jadi teringat Lucky Anash yang menyedihkan itu. Di lagunya berjudul "Jakarta", ia mengemis, "Jakarta, terimalah aku apa adanya."
Lucky mencintai Jakarta. Tapi Jakarta membenci Lucky. Barangkali karena Lucky miskin dan bodoh, dan buruk dan dungu.
Namun Jakarta di mata Lucky, seperti perempuan di mata Slavoj Zizek, filsuf yang gagal jadi presiden itu. "Kita mungkin tak bisa hidup dengannya," kata Zizek. "Tapi kita lebih tak mungkin lagi hidup tanpanya."
Racauan ini aku tulis setelah melewati jalan raya jam satu malam, yang dipenuhi rombongan sahur on the road sekeramaian parkiran mall saban sabtu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar