Komunis dan Indonesia adalah sesuatu yang tak bisa dipisahkan.
Riwayatnya panjang dan tragis. Selalu diasingkan.
Sebelum kemerdekaan, orang-orang merah (sebutan untuk orang
komunis) telah berjuang. Para petingginya diasingkan, lebih tepatnya dibuang
dari tanahnya sendiri.
Tan Malaka adalah salah satunya. Ia adalah salah satu orang
pertama yang mempunyai ide bahwa Indonesia harus merdeka. Dan ide itu yang
menjadi rujukan bagi Soekarno dan tokoh lainnya dalam masa pergerakan. Karena dianggap
berbahaya oleh pemerintahaan Hindia Belanda, ia dibuang ke Belanda.
Namun orang-orang merah tak lagi dibuang ke luar negeri
setelah adanya Boven Digul. Kamp buatan pemerintah Hindia-Belanda di ujung barat
Nusantara, di tanah yang mana manusia-manusia di sana masih dianggap tak
beradab; Papua.
Buatan pemerintah bukan berarti pemerintah telah menyiapkan
rumah-rumah tahanan untuk orang-orang merah. Namun orang-orang yang dibuang
itulah yang, tak bisa tidak, haru membuat rumah untuknya sendiri. Pemerintah hanya
menyuplai makanan dan obat-obatan.
Konon, dulu di Boven Digul, tempat pembuangan orang-orang
komunis, ada sebuah penyakit malaria hitam. Orang-orang yang tersengat nyamuk
itu, akan mengeluarkan air kencing berwarna hitam, sebelum kemudian mati di
tengah hutan.
Tak seburuk itu memang keadaan di Digul. Tapi tentu sangat
buruk bagi mereka yang pertama sampai di sana. Banyak yang mencoba melarikan
diri ke perbatasan antara jajahan Inggris dan Belanda di Nugini. Namun banyak
dari mereka yang mencoba kabur justru mati di tengah pelarian.
Banyak juga yang bertahan di kamp pembuangan. Di sana,
semakin lama semakin banyak orang-orang merah yang dibuang. Ada pula yang
membawa turut anak istrinya. Pemerintah saat itu membuang semua orang yang
dianggap merah, tak peduli pimpinan atau bawahan.
Tahun ke tahun kamp itu tidak hanya diisi oleh orang merah. Di
antara mereka adalah aktivis dan tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai
Republik Indonesia (PARI), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia
(PARTINDO), Perhimpunan Muslim Indonesia (PERMI), Partai Sarekat Islam
Indonesia (PSII), dan Sarekat Kaum Buruh Indonesia (SKBI). Nama-nama yang
pernah mendiami tempat ini antara lain Chalid Salim, Najoan, Mas Marco Kartodikromo, Xarim M.S., Aliarcham,
Sardjono, Sjahrir, Hatta, Soenarjo, Mardjono, Sarosan, Djamaluddin Tamin, Daja
bin Joesoef, Kandor, Moechtar Loetfi, Ilyas Jacob, Jalaloedin Thaib, Moehidin
Nasoetion, Abdoel Hamid Loebis, Jahja Nasoetion, Dawud, Amir Hamzah Siregar,
Ahmad Soemadi, Moerad, dan Bernawi Latif.I
Pemerintah akhirnya menutup tempat itu pada tahun 1943,
karena biaya untuk melaksanakan hidup para tahanan di sana sangat besar.
***
Ah, saya sedang demam. Akhir-akhir ini memang musim yang tak
jelas (siang panas dore hujan) menyebabkan nyamuk merajalela. Semoga saya demam
saya bukan karena malaria hitam.
Catatan;
ITakashi
Shiraishi, Dunia Hantu Digoel dalam Hantu
Digoel: Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial, (Yogyakarta: LKiS,
2001), Hlm. 14-15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar