Ilustrasinya minjem (lagi) dari Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit
Dalam rumah itu, aku tinggal sendiri. Dinding retak, atap
terterbus cahaya kecil dan lantai yang berdebu menjadi pemandangan biasa,
mengisi hariku dengan biasa pula. Jarang sekali aku membersihkan rumah warisan
dari Emak Bapakku. Dulu tentu berbeda, Emak selalu membersihkan rumah selagi
libur.
“Biarkan sajalah. Lagi pula jarang ada tamu yang datang,”
pikirku sepele.
Dulu waktu aku masih setinggi pohon singkong depan rumah,
Emak selalu bercerita tentang Dewa-dewa yang pernah turun ke Bumi. Konon, dahulu
ada Dewa yang dipanggil oleh seorang wanita untuk memberikannya anak. Anaknya
adalah orang-orang yang suci, namun tak luput dari dosa. Tentang perjalanan
anak titisan Dewa tersebut mencari takdirnya, sampai akhirnya ia moksa. Cerita itu
sangat melekat di kepalaku.
“Kalau Dewa punya anak, mungkin aku adalah titisan Dewa
juga,” bayangku polos.
Aku rindu Emak, rindu ceritanya, rindu auranya, rindu sikap
bersihnya.
Emak sudah lama tak menjengukku ke kota. Terakhir, tiga
tahun lalu saat Bapak meninggal, Emak ikut ke kota bersamaku untuk menghabiskan
air mata. Di kota, Emak merasa asing. Ia tak lagi sering membersihkan rumah. Mungkin
aku dipikir sudah mempunyai calon yang membersihkan hidupku. Emak tak banyak
bicara denganku. Lebih sering merenung, sembahyang dan ngaji. Emak hanya
sebulan tinggal di kota, setelah itu kembali ke kampung untuk menghabiskan sisa
harinya dengan sebuah harapan yang masih tersimpan.
Harapan Emak sederhana adanya. Lima tahun lalu, setahun
setelah Bapak pensiun dari kantor lurah, Bapakku memutuskan untuk pindah ke
kampung halaman atas ajakan Emak. Emak mau menghabiskan harinya untuk menikmati
hidup di masa senja dengan menikmati hamparan tanaman padi yang hijau dan
perlahan menguning saat panen tiba. Namun harapan itu tak semuanya terwujud. Ladang
yang diharapkan bisa mengusir kejenuhan setelah puluhan tahun tinggal di kota setiap
tahunnya selalu kekeringan. Setiap mata pasti tak tahan melihat pemandangan
yang kering.
Sebelum meninggal, Bapak sempat membeli beberapa petak lahan
untuk ikut-ikutan menanam padi. Bapak mengisi harinya dengan pergi ke sawah,
minum kopi menunggu azan Zuhur dan pulang saat senja sudah habis daya pikatnya.
Setiap hari seperti itu. Emak pun selalu menyusul ke sawah kalau masakannya
sudah selesai. Sambil menenteng rantang dan membawa minuman untuk mereka berdua
makan siang.
Dua tahun memang waktu yang singkat. Apalagi kalau setiap
hari dilewatinya dengan cinta yang mulai bersemi kembali di masa tua. Aku sempat
sekali ke kampung sebelum Bapak meninggal. Rasanya seperti sedang mengganggu
muda mudi yang lagi dimabuk asmara. Selalu, setelah perutku lapar sehabis
menanam benih, Emak datang bawa rantang. Lantas kita makan siang di tengah
sawah, di bawah pohon kelapa yang berjejer, sambil bercerita tentang apa saja
kegiatanku di kota.
Saat itu aku hanya seminggu di kampung. Profesiku sebagai
pegawai tak mau bertoleransi untuk hal-hal yang melankolis. Serahi tak masuk
kantor, sampai tiga kali tanpa kabar, bisa hilang penghasilan. Aku memutuskan
untuk ke kota dengan hati yang lepas, melihat Emak dan Bapak berbahagia di
kampung halaman.
Namun sekarang, Emak lebih sering diam. Ia jarang menelponku
seperti sebelum Bapak meninggal. Dulu hampir setiap minggu Emak menelpon, hanya
untuk sekedar menanyakan kabar dan tantang seorang calon. Aku terkadang sampai
bosan karena tak ada bahasan lain yang dibicarakan. “Dasar orang tua,” pikirku
saat jengkel. Sekarang, kalau bukan aku yang menelpon, Emak mungkin dua bulan
sekali baru menelpon. Sekarang, aku yang dibuatnya khawatir. Memang dunia
selalu berputar. Mungkin di sana ia punya kegiatan baru yang bisa mengalihkan
kesendiriannya.
Saat kutelepon, Emak selalu cerita tentang harinya di
kampung yang mulai menjengkelkan, entah apa masalahnya, namun selalu ada yang
membuatnya jengkel. Mungkin ia merasa sepi lagi. Namu ketika bercarita tentang
senja, aku selalu antusias dibuat mendengar olehnya. Aku sudah sering mengajaknya tinggal di kota
lagi, berdua bersamaku. Tapi ia tetap kukuh ingin melanjutkan harapannya,
melihat senja dan menghabiskan hari dalam ketenangannya.
Sawah yang dulu sempat dibeli, sekarang tak ada yang
mengurusi. Emak terpaksa menyewakannya ke tetangganya karena ia tak bisa
mengolah sawahnya sendirian. Saudara-saudara yang lain pun tak bisa banyak
membentu mengolah sawah. Semua sudah punya kegiatan masing-masing dalam mencari
penghasilan. Emak tak sudi memaksa.
Senja yang tiga tahun lalu dinikmati bersama Bapak, kini
Emak hanya sendiri. Di tengah sawah yang sepi, Emak menyendiri menanti pulang.
Aku tak bisa berbuat apapun. Profesi selalu menuntuk prestasi, dan prestasi
adalah hal yang menguras energi. Jangankan untuk menemui, menelpon Emak pun
hanya kulakukan saat akhir pekan.
Terakhir, aku mendapat kabar kalau Emak sering pergi ke
ujung ladang, tempat di mana pohon masih tumbuh lebat, saat senja ingin pulang.
Aku ingat cerita Emak dulu, tentang manusia keturunan Dewa yang moksa dan
diangkat ke Sorga. Manusia itu terus berjalan hingga tempat yang sunyi, jauh
dari hingar bingar kegaduhan duniawi, untuk Manunggaling
Kawula Gusti. Pikiranku mulai meracau.
Telepon genggamku bergetar, menyadarkanku dari lamunan
tentang Emak.
“Gus, cepet pulang! Emakmu meninggal. Jenazahnya ketemu di
hutan, di samping batu yang ada jejak telapak kaki.” singkat pesan dari Wak-ku membuatku haru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar