Bukan, ini bukan cerita tentang sebuah pernikahan yang
terlalu cepat seperti judul sinetron tahun 90’an. Ini adalah pernikahan
Maharani Ardini, atau biasa dipanggil Dini.
Saat itu televisi masih menyala dengan suara pelan. Samar-samar
angin menyusup lewat calah-celah antara jendela dan bingkainya. Jarum jam
mengelilingi angka dengan lambat. Dini masih berbaring di kasurnya, resah gelisah
menanti hari pernikahannya, layaknya menanti orang tua yang sedang menaiki
tangga yang sempit. Mungkin tak sabar.
Undangan pernikahan telah tersebar. Tak jelas siapa yang
terlewat tak diundang. Semua mengucapkan kata-kata yang senang. Ucapan selamat,
doa, sanjungan, kekagetan, semua menyatu dalam irama yang, entah senang atau
kaget, mungkln sebagin merasakan keduanya. Namun yang jelas, Dini masih resah
dan gelisah, bercampur rona bahagia menjawab satu per satu ucapan yang lewat.
Berapapun semua orang senang, Dini tetap yang paling senang.
Ia sudah memutuskan. Setelah ia membiarkan dirinya tersesat untuk beberapa saat,
akhirnya ia pulang dengan sebuah keyakinan. Di atas kasur itu, Dini membayangkan
ketika dirinya pulang beberapa hari yang lalu.
“Maaaaakkkkkk.... Aku pulang bawa keyakinan. Aku mau
nikah....” ucap Dini ketika kemarin pulang.
“Alamdulillah, nak. Akhirnya kamu pulang juga,” jawab Emak
dengan rona bahagia.
Dini berpanjang lebar menceritakan kisahnya kepada Emak. Kadan
disisipi dengan amarah, kadang ia menangis membayangkan, kadang ia merasa senag
telah pulang. Perjalanan itu telah menjadi kisah yang hari biru untuk mereka
berdua.
Emak masih menghiraukan kalimat Dini yang minta menikah, ia
masih tercebur dalam keharuan melihat anaknya pulang. Tapi ketika tersadar, ia
kaget, namun hanya sebentar lantas ikut senang. Emak tak lagi banyak bicara. Semua sudah
ditentukan. Tinggal menanti pernikahan Dini.
Semua sudah berencana untuk kebahagiaan Dini. Semua berdoa.
Semua menanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar