Ilustrasi: blogspot.com
Cerita tentang Riko –bukan
Riko gitaris Mocca, juga bukan Riko gitaris Backside Terror- yang belum
selesai.
***
Senja itu, lapar
melanda perut Riko yang belum terisi dari pagi menjelang. Riko memang sedang
malang. Di rumahnya hanya ada kue-kue sisa lebaran. Ia pergi ke luar mencari
kesenangan. Teman sejawatnya ada yang mengajaknya berkumpul ria sambil tertawa.
Bersama teman-temannya, Riko memulai cerita.
Riko berjalan menuju
warung untuk membeli kopi dan beberapa rokok untuk melanjutkan kehidupannya. Warung
kepunyaan keluarga keturunan Padang yang terbatas tembok, yang memisahkan
antara area pendidikan formal dengan realita yang ada. Jalan menuju warung itu
harus melewati Tikungan Tajam, tempat yang dianggap paling keramat oleh warga
sekitar. Namun, meskipun keramat, Tikungan Tajam merupakan sumber kehidupan
bagi masyarakat sekitar.
Tikungan Tajam,
setiap Riko melewatinya, selalu tercium wewangian yang khas, layaknya wangi
melati saat melewati kuburan. Bulu kuduk Riko bangun semua, ia menundukkan
kepalanya. Ketakutan menghantuinya selama perjalanan. Dan, kekeramattannya
mulai terasa. Riko mencoba bersikap seperti biasa saat melewatinya.
Setelah membeli
kopi, Riko kembali melewati tempat itu, Tikungan Tajam. Wewangian masih tetap
tercium. Bahkan semakin kuat, bercampur udara senja yang nikmat. Tak jauh dari
Tikungan Tajam, Riko duduk bersama teman-temannya. Ia menikmati kopinya di
dekat tikungan itu. Riko merasakan imajinasinya, terbang ke alam mereka dan
merebah memandang awan yang sudah keemasan. Ternyata Riko sedang merasakan
bahwa tempat yang disebut keramat itu mengasyikan. Walaupun matahari sudah
tenggelam dan wewangian perlahan menghilang, Riko masih dibawa terbang. Hanya dengan
segelas kopi, makanan alternatif ketika uang di dompet sedang tidak bersahabat,
Riko melayang di wewangian Tikungan Tajam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar