Laman

Selasa, 06 November 2012

Pacaran: Sebuah Legitimasi

Pacar. Mendengar kata itu, pikiran saya langsung mengasosiasikan pada hal-ikhwal kepemilikan: atas tubuh fisik, dan tubuh psikis. Sebenarnya, untuk apakah status pacar?

Belum lama ini teman saya sempat bercerita mengenai pacarnya. Dia mengeluh, lama-lama pacaran itu bosen juga, "cuma gitu-gitu aja." Saya kemudian mengiyakan: memang, sesuatu yang rutin, pada gilirannya akan bosan juga. Perasaan cinta, lama-lama terreduksi dalam rutinitas dan komitmen. Kalau sudah begitu, suatu hubungan, sebenarnya mempertahankan cinta atau mempertahankan rutinitas dan komitmen?

Namun kemudian teman saya meneruskan keluhannya, "tapi kalo ga pacaran, gua ga bisa cium dia." Saya merasa ada yang aneh sampai di titik ini.

Dalam obrolan lainnya dengan beberapa perempuan, saya pernah terjebak, dan mau tak mau, menguping. Obrolan yang sama anehnya. Saat itu hari sudah malam. Seorang perempuan hendak pulang. Ia bilang ke temannya, "gua dijemput sama si Blablabla (nama pacarnya) laaahhh. Dia kan pacar gua. Ya harus jemput dong."

Dari ke dua kasus tersebut, saya kemudian berpikir: mengapa juga melakukan ciuman harus dengan pacaran? Mengapa juga pacaran itu harus jemput? Apakah pacaran semiskin itu: hanya legitimasi (semacam surat izin) untuk melakukan sesuatu?

Ciuman ya ciuman aja. Asalkan sama-sama mau, terus kenapeh?

Jemput ya jemput aja. Tak ada yang harus. Tak perlu pacaran.

1 komentar: