Laman

Jumat, 25 Juli 2014

Sedikit tentang Pablo Zabaleta



Ia hanya didatangkan dari Espanyol, tim Catalan yang selalu berada di bawah telapak kaki Barcelona. Harganya hanya sekitar 7 juta Euro, harga yang sangat kecil untuk standar pemain yang bergabung di skuad mahal the Eastlands. Namun seiring berjalanya waktu, ia berhasil membuktikan bahwa harga murah tak selalu menjadi alasan untuk bermain standar. Ia berhasil membuat Verdran Corluka angkat kaki dari Carrington dan membuat si anak asli akademi, Micah Richards harus bersandar melepas penat di bangku cadangan (walaupun sebenarnya Richards sendiri sering mengalami cidera kambuhan). Ia adalah salah satu pembelian berhasil dari Mark “fuckin” Hughes, pelatih yang terkenal sering menghambur-hamburkan uang saat menahkodai the Sky Blues.

Ia menjadi andalan fullback sisi kanan Manchester City di era kepemimpinan Hughes, Roberto Mancini, hingga Pellegrini. Inkomsistennya Micah Richards membuatnya menjadi prioritas pelatih-pelatih City yang saya sebutkan diatas untuk memasangnya sebagai Fullback penghalau serangan lawan. Kecepatannya mungkin tak sebanding dengan Dani Alves. Permainannya mungkin tak seindah Alvaro Arbeloa. Visi permainannya tak secanggih si legendaris Garry Neville. Namun, Zabaleta memiliki determinasi tinggi yang mungkin tak dimiliki ketiga orang yang saya sebut diatas.

Untuk seorang yang lahir di Argentina, sosoknya menjadi sebuah ambiguitas tersendiri. Kita semua tahu bahwa pemain asal negeri Diego Maradonna itu selalu tampil santun dan menawan kala bermain. Lihat saja sosok macam Javier Zanneti, Juan Riquelme, hingga Lionel Messi, semuanya adalah tipikal pemain Argentina “yang baik.” Sosok Zabaleta mungkin cenderung mengarah pada legenda Tanggo yang undetect macam Juan Pablo Sorin ataupun Diego Simeone yang kerap bermain brutal dan membuat lawan segan untuk mencari masalah dengan merek. Zabaleta sendiri lebih kepada steriotip orang Inggris yang cenderung brutal dan temperamental, tak jarang kita selalu melihat Zaba terkena kartu kuning di setiap pertandingan Manchester City. Itulah kelebihan Zabaleta daripada fullback sepakbola modern saat ini.

Pada Piala Dunia 2014 kemarin, Alejandro Sabella membuat sebuah kesalahan. Ia meminimalisir pergerakan offensive Zaba ke kotak pinalti lawan. Sabella lebih percaya kepada sosok Angel di Maria sebagai konduktor serangan Argentina dari zona sayap. Zabaleta tak bermain maksimal di Piala Dunia. Mungkin inilah salah satu penyebab terjungkalnya Argentina di Final (selain faktor Messi-sentrisme, tentunya).

Dan jendela transfer musim dingin dibuka. City telah memastikan kehadiran Bacary Sagna ke Etihad. Pola permainan Sagna dan Zaba sekilas mirip. Mereka juga menempati posisi yang sama. Keduanya sering melakukan overlap ke daerah pertahanan lawan. Namun saya tak pernah khawatir soal posisi Zaba. Ia mungkin akan terus menjaga sisi kanan City di musim 2014/15. Hanya cidera, akumulasi dan tuhan yang bisa menghentikan Zabaleta. Saya juga berani menjamin, Zaba akan pensiun bersama City dikemudian hari. Bahkan saya beharap, ialah kapten yang ideal untuk Manchester City. Ia mungkin hanya kalah populer dari Vincent Kompany dan Yaya Toure dalam hal pemilihan kapten.


Aku, Kamu, Pram dan Mario

copyright by bowo bagus*

“Aku suka ucapannya,” katanya pagi itu.

“Mengapa kamu masih saja mendengarnya sih? Berapa banyak orang-orang sabar yang akhirnya tak bisa merdeka? Manusia adalah makhluk berbudaya. Ia berdialektika, menggabungkan antara tesis dengan antitesis sehingga menjadi sintesis. Begitu seterusnya. Hal itu tidak mengalir begitu saja. Tesis adalah kebiasaan. Antitesis lahir dari perlawanan. Kita tak bisa selallu mendengar. Harus melawan agar sintesis baru lekas ditemukan,” bantahku kepadanya.

Ia diam dalam waktu yang lama. Cukup lama hingga tak ada kabar berita, sampai aku merasa menang dalam satu pernyataan sekaligus pertanyaan. Memenangkan sebuah pertarungan psikologis antara aku dan dia.

Haters gonna hate,” ucapnya pelan, membuyarkan kesepian.

“Aku tidak membenci Mario, sayang. Tapi memang itulah adanya. Aku lebih suka membaca Pram. Pram yang menulis Minke. Pram yang menceritakan perlawanan. Pram yang dibuang. Pram yang serba pahit.”

Ia kembali diam. Aku melangit, merasa menang untuk yang kedua kalinya.

“Mario selalu berucap kalau ia tak pernah membenci orang yang menghina nasihatnya. Ia selalu menganggap semua orang baik. Menurutnya, orang yang menghina nasihatnya adalah orang yang belum diberikan hidayah oleh Tuhan. Dan ingat, tidak ada orang-orang yang hidupnya baik kalau ia menghina seorang penasihat.”

“Aku tidak membenci Mario. Aku hanya tidak suka.” Aku mengambil rokok dalam bungkus yang bergambar seorang bapak merokok saat menggendong anaknya, lalu melanjutkan, “Kau pernah dengar seorang mahasiswa yang hanya nangkring di menara gading? Ia adalah pemuda beruntung karena memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan, namun pikirannya tak pernah membumi. Ia selalu membahas segala teori-teorinya dengan sesamanya. Tak pernah mereka ke lapangan, melihat bagaimana mustahilnya membayangkan seorang Jean Paul Sartre dapat dilahirkan di tengah lingkungan kumuh, di Kapuk, Jakarta Utara.”

Aku menyalakan rokok yang tadi kuambil, lalu melanjutkan, “Bukankah kemarin sudah kuceritakan padamu tentang Minke? Ia melawan, sayang. Tak perlu ia mendengar ceramah Mario untuk melawan. Ia hanya melihat ketidakadilan, dan melawan. Sesimpel itu. Dan kenyataannya, kesederhanaan adalah hal yang rumit.”

Ia diam, seperti menyimak. Aku merasa semakin menang.

“Ayolah, sayang, kau tak perlu terlalu percaya kepada ucapan seorang Mario. Kau memiliki dua telinga. Matamu pun dua. Kau hanya perlu melihat realita itu dan langsung mendengar kehidupan dari bumi. Bukan dari orang yang berdiri di atas mimbar.”

Haters gonne hate,” ucapmu lebih kencang dari yang pertama. Hampir teriak.

Aku kaget. Untuk beberapa saat aku kehilangan merasa di bawahnya. Kuhisap rokokku yang sudah menyala untuk membantu membuatku tenang, mencari bantahan lainnya.

“Kamu hanya membenci Mario. Betapapun Mario berucap sesuatu yang sangat benar, kau tetap akan membencinya. Tak ada obat untuk seorang pembenci sepertimu.”

Ucapannya seperti rentetan peluru yang ditembakkan ketika aku lengah. Aku menarik napas dalam-dalam. Merenungkan. Apaka benar aku seorang pembenci, batinku. Dalam keadaan seperti ini, batinnya pasti mengembang kemenangan. Memang benar, aku sedang diserang.

“Kamu selalu membandingkan Mario dengan Pram. Padahal kamu tahu, di dunia ini tak ada sesuatu yang bisa dibandingkan. Bahkan seorang anak yang kembar siam pun tidak mau dibandingkan dengan kembarannya. Itu tidak adil. Kamu selalu memandangku sebelam mata kalau aku mengutip Mario. Kamu egois.”

Matanya memerah. Entah sedih atau marah. Mungkin kolaborasi antara keduanya. Kali ini aku yang diam.

“Aku hanya tidak suka melihat orang-orang hanya diam ketika dirinya ditindas. Dan yang aku tahu, dalam setiap ucapan Mario, selalu menyuruh kita pasrah. Katanya, Tuhan hanya menguji mereka yang mampu lulus. Lantas, apa mereka yang tidak lulus hanya kambing percobaan Tuhan sebagai penggembira ujian? Hidup bukanlah sebuah kompetisi seperti ujian, di mana yang tidak lulus dapat diremehkan. Hidup adalah.. aku pun belum bisa mendifinisikannya.” Rokok yang belum habis itu kumasukkan dalam asbak kecil di atas meja.

“Terus?” tanyamu singkat.

Pertanyaan itu adalah sebilah pisau menuju tepat ke jantungku. Aku menyerah. Aku kalah.

Kedua tangannya langsung kupengang. Kepalaku kudekatkan ke kepalanya. Mataku tajam melihat matanya yang besar. Dalam hening, aku kuatkan tekadku, “Ini bukan perkara Mario ataupun Pram. Ini adalah antara kamu dan aku.”

Catatan:
*Copyright is only for beginner