“Aku suka ucapannya,” katanya pagi itu.
“Mengapa kamu masih saja mendengarnya sih? Berapa banyak
orang-orang sabar yang akhirnya tak bisa merdeka? Manusia adalah makhluk
berbudaya. Ia berdialektika, menggabungkan antara tesis dengan antitesis
sehingga menjadi sintesis. Begitu seterusnya. Hal itu tidak mengalir begitu
saja. Tesis adalah kebiasaan. Antitesis lahir dari perlawanan. Kita tak bisa
selallu mendengar. Harus melawan agar sintesis baru lekas ditemukan,” bantahku
kepadanya.
Ia diam dalam waktu yang lama. Cukup lama hingga tak ada
kabar berita, sampai aku merasa menang dalam satu pernyataan sekaligus pertanyaan.
Memenangkan sebuah pertarungan psikologis antara aku dan dia.
“Haters gonna hate,”
ucapnya pelan, membuyarkan kesepian.
“Aku tidak membenci Mario, sayang. Tapi memang itulah
adanya. Aku lebih suka membaca Pram. Pram yang menulis Minke. Pram yang
menceritakan perlawanan. Pram yang dibuang. Pram yang serba pahit.”
Ia kembali diam. Aku melangit, merasa menang untuk yang kedua kalinya.
“Mario selalu berucap kalau ia tak pernah membenci orang
yang menghina nasihatnya. Ia selalu menganggap semua orang baik. Menurutnya,
orang yang menghina nasihatnya adalah orang yang belum diberikan hidayah oleh
Tuhan. Dan ingat, tidak ada orang-orang yang hidupnya baik kalau ia menghina
seorang penasihat.”
“Aku tidak membenci Mario. Aku hanya tidak suka.” Aku
mengambil rokok dalam bungkus yang bergambar seorang bapak merokok saat
menggendong anaknya, lalu melanjutkan, “Kau pernah dengar seorang mahasiswa
yang hanya nangkring di menara gading? Ia adalah pemuda beruntung karena
memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan, namun pikirannya tak pernah
membumi. Ia selalu membahas segala teori-teorinya dengan sesamanya. Tak pernah
mereka ke lapangan, melihat bagaimana mustahilnya membayangkan seorang Jean
Paul Sartre dapat dilahirkan di tengah lingkungan kumuh, di Kapuk, Jakarta
Utara.”
Aku menyalakan rokok yang tadi kuambil, lalu melanjutkan, “Bukankah
kemarin sudah kuceritakan padamu tentang Minke? Ia melawan, sayang. Tak perlu
ia mendengar ceramah Mario untuk melawan. Ia hanya melihat ketidakadilan, dan
melawan. Sesimpel itu. Dan kenyataannya, kesederhanaan adalah hal yang rumit.”
Ia diam, seperti menyimak. Aku merasa semakin menang.
“Ayolah, sayang, kau tak perlu terlalu percaya kepada ucapan
seorang Mario. Kau memiliki dua telinga. Matamu pun dua. Kau hanya perlu
melihat realita itu dan langsung mendengar kehidupan dari bumi. Bukan dari
orang yang berdiri di atas mimbar.”
“Haters gonne hate,”
ucapmu lebih kencang dari yang pertama. Hampir teriak.
Aku kaget. Untuk beberapa saat aku kehilangan merasa di
bawahnya. Kuhisap rokokku yang sudah menyala untuk membantu membuatku tenang,
mencari bantahan lainnya.
“Kamu hanya membenci Mario. Betapapun Mario berucap sesuatu
yang sangat benar, kau tetap akan membencinya. Tak ada obat untuk seorang
pembenci sepertimu.”
Ucapannya seperti rentetan peluru yang ditembakkan ketika
aku lengah. Aku menarik napas dalam-dalam. Merenungkan. Apaka benar aku seorang
pembenci, batinku. Dalam keadaan seperti ini, batinnya pasti mengembang
kemenangan. Memang benar, aku sedang diserang.
“Kamu selalu membandingkan Mario dengan Pram. Padahal kamu
tahu, di dunia ini tak ada sesuatu yang bisa dibandingkan. Bahkan seorang anak
yang kembar siam pun tidak mau dibandingkan dengan kembarannya. Itu tidak adil.
Kamu selalu memandangku sebelam mata kalau aku mengutip Mario. Kamu egois.”
Matanya memerah. Entah sedih atau marah. Mungkin kolaborasi
antara keduanya. Kali ini aku yang diam.
“Aku hanya tidak suka melihat orang-orang hanya diam ketika
dirinya ditindas. Dan yang aku tahu, dalam setiap ucapan Mario, selalu menyuruh
kita pasrah. Katanya, Tuhan hanya menguji mereka yang mampu lulus. Lantas, apa mereka
yang tidak lulus hanya kambing percobaan Tuhan sebagai penggembira ujian? Hidup
bukanlah sebuah kompetisi seperti ujian, di mana yang tidak lulus dapat
diremehkan. Hidup adalah.. aku pun belum bisa mendifinisikannya.” Rokok yang
belum habis itu kumasukkan dalam asbak kecil di atas meja.
“Terus?” tanyamu singkat.
Pertanyaan itu adalah sebilah pisau menuju tepat ke
jantungku. Aku menyerah. Aku kalah.
Kedua tangannya langsung kupengang. Kepalaku kudekatkan ke
kepalanya. Mataku tajam melihat matanya yang besar. Dalam hening, aku kuatkan
tekadku, “Ini bukan perkara Mario ataupun Pram. Ini adalah antara kamu dan aku.”
Catatan:
*Copyright is only for beginner
Tidak ada komentar:
Posting Komentar