Laman

Rabu, 23 Juli 2014

Riwayat

Komunis dan Indonesia adalah sesuatu yang tak bisa dipisahkan. Riwayatnya panjang dan tragis. Selalu diasingkan.

Sebelum kemerdekaan, orang-orang merah (sebutan untuk orang komunis) telah berjuang. Para petingginya diasingkan, lebih tepatnya dibuang dari tanahnya sendiri.

Tan Malaka adalah salah satunya. Ia adalah salah satu orang pertama yang mempunyai ide bahwa Indonesia harus merdeka. Dan ide itu yang menjadi rujukan bagi Soekarno dan tokoh lainnya dalam masa pergerakan. Karena dianggap berbahaya oleh pemerintahaan Hindia Belanda, ia dibuang ke Belanda.

Namun orang-orang merah tak lagi dibuang ke luar negeri setelah adanya Boven Digul. Kamp buatan pemerintah Hindia-Belanda di ujung barat Nusantara, di tanah yang mana manusia-manusia di sana masih dianggap tak beradab; Papua.

Buatan pemerintah bukan berarti pemerintah telah menyiapkan rumah-rumah tahanan untuk orang-orang merah. Namun orang-orang yang dibuang itulah yang, tak bisa tidak, haru membuat rumah untuknya sendiri. Pemerintah hanya menyuplai makanan dan obat-obatan.

Konon, dulu di Boven Digul, tempat pembuangan orang-orang komunis, ada sebuah penyakit malaria hitam. Orang-orang yang tersengat nyamuk itu, akan mengeluarkan air kencing berwarna hitam, sebelum kemudian mati di tengah hutan.

Tak seburuk itu memang keadaan di Digul. Tapi tentu sangat buruk bagi mereka yang pertama sampai di sana. Banyak yang mencoba melarikan diri ke perbatasan antara jajahan Inggris dan Belanda di Nugini. Namun banyak dari mereka yang mencoba kabur justru mati di tengah pelarian.

Banyak juga yang bertahan di kamp pembuangan. Di sana, semakin lama semakin banyak orang-orang merah yang dibuang. Ada pula yang membawa turut anak istrinya. Pemerintah saat itu membuang semua orang yang dianggap merah, tak peduli pimpinan atau bawahan.

Tahun ke tahun kamp itu tidak hanya diisi oleh orang merah. Di antara mereka adalah aktivis dan tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Republik Indonesia (PARI), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia (PARTINDO), Perhimpunan Muslim Indonesia (PERMI), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), dan Sarekat Kaum Buruh Indonesia (SKBI). Nama-nama yang pernah mendiami tempat ini antara lain Chalid Salim, Najoan, Mas Marco  Kartodikromo, Xarim M.S., Aliarcham, Sardjono, Sjahrir, Hatta, Soenarjo, Mardjono, Sarosan, Djamaluddin Tamin, Daja bin Joesoef, Kandor, Moechtar Loetfi, Ilyas Jacob, Jalaloedin Thaib, Moehidin Nasoetion, Abdoel Hamid Loebis, Jahja Nasoetion, Dawud, Amir Hamzah Siregar, Ahmad Soemadi, Moerad, dan Bernawi Latif.I

Pemerintah akhirnya menutup tempat itu pada tahun 1943, karena biaya untuk melaksanakan hidup para tahanan di sana sangat besar.
***
Ah, saya sedang demam. Akhir-akhir ini memang musim yang tak jelas (siang panas dore hujan) menyebabkan nyamuk merajalela. Semoga saya demam saya bukan karena malaria hitam.

Catatan;
ITakashi Shiraishi, Dunia Hantu Digoel dalam Hantu Digoel: Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial, (Yogyakarta: LKiS, 2001), Hlm. 14-15.